|  BERANDA  |  TAJUK TERKINI  |  JELAJAH  |  TSAQOFAH ISLAM  |  SIRAH NABAWIYAH  |  INSPIRASI  |  SAKINAH  |  MAUIDHATUL HASANAH  |  TAHUKAH?  |  JUMRAH.COM  |

Tanpa Pacaran, Izinkan Aku Menikah

Tanpa Pacaran, Izinkan Aku Menikah
Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Dalam konteks filosofi cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang.

Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek tersebut.

Rudifillah el Karo, Waketum Rumah Dakwah Indonesia, menyatakan kata cinta memang memiliki banyak defenisi, tergantung pada siapa bertanya dan kepada siapa cinta itu ditujukan.

Namun, jatuh cinta seringnya menjadi sumber masalah bagi manusia jika tidak dikelola dengan baik. Kecuali mereka yang melabuhkan perasaanya tersebut pada orang-orang yang telah halal baginya (suami atau istrinya).

Atau bentuk cintanya adalah cinta yang berlandaskan kasih sayang bukan karena nafsu seperti kecintaan Rasulullah pada ummatnya, kecintaan ibu pada anaknya atau yang lainnya.

Cinta pada lawan jenis yang belum halal seringkali menjadi sumber bencana bagi pelakunya, ini disebabkan karena cinta adalah perasaan yang harus dilabuhkan. Pelabuhan cinta pada lawan jenis akan diikuti perasaan dan tindakan-tindakan lain yang mengiringi perasaan tersebut.

Mereka harus bertemu, berinteraksi, mengungkapkan perasaan dengan tindakan sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma Islam.

Cinta sebenarnya adalah anugrah dari Allah yang harus disyukuri dan dijaga, namun jika berlabuh pada dermaga yang salah akan menjadi masalah. Pelakunya akan “Selingkuh Sebelum Menikah”.

Maksudnya adalah cinta yang harusnya dia berikan pada pasangan hidupnya malah dia berikan pada orang lain meski dia belum tahu dia kelak akan jadi suaminya, ini jelas perbuatan selingkuh.

Pertama kali lahir ke dunia kita sudah diperkenalkan Allah dengan cinta kepada kedua orang tua kita. Namun kemudian kita tidak pernah mengatakannya jatuh cinta padahal cinta inilah yang menjaga kita sampai kita mengenal manusia lain di dunia ini.


Kemudian saat remaja mulai tumbuh rasa suka pada lawan jenis. Gadis bertemu jejaka. Pandang mata melahirkan suka. Interaksi demi Interaksi melahirkan cinta.

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali Imron: 14).

Abu Muhammad bin Hazm pernah berkata : “Ada seorang laki-laki berkata kepada Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khattab, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya saya melihat seorang wanita lalu saya sangat cinta kepadanya.’ Umar berkata, ‘Itu adalah sesuatu yang tak bisa dibendung’.”

Cinta kepada lawan jenis kita adalah fithrah setiap manusia. Perasaan ini tak bisa kita tolak bagaimana pun juga. Namun penting bagi kita untuk mengelolanya agar ia hanya tumbuh dan berkembang hanya kepada orang-orang yang telah Allah halalkan.

Rasa cinta terhadap lawan jenis adalah hal yang biasa, namun hal ini harus segera diakhiri dengan pernikahan.

Jika belum mampu menjalaninya, maka alternatif terbaik adalah menjaga pergaulan dan menyibukkan diri dengan kegiatan yang positif, menundukkan pandangan, berpuasa atau menuntut ilmu.

Berikut ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengelola hati kita, untuk menjaga diri dari bahaya Perasaan yang Allah haramkan:


1. Menikah
Menikah adalah salah satu ibadah yang pahalanya paling besar, maka beruntunglah kita yang sudah menikah. Dalam penikahan membuat pasangan tersenyum saja sudah ibadah, apalagi ibadah-ibadah lainnya. Selain itu menikah mampu membendung perasaan yang menggebu-gebu karena menikah menimbulkan ketenangan dan kenyamanan.

Hal ini juga Allah terangkan dalam firmannya :
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang…….”
(Ar-Ruum 21).
Pilihan ini adalah pilihan yang terbaik dari semua pilihan yang ada.

2. Menghentikannya sebelum menjadi bencana
“Dan janganlah kamu mendekati zina.” (Al Isra’: 32).
Timbulnya rasa cinta akan mengawali beberapa fase yang akan terus berlanjut. Oleh karena itu, seseorang harus memupus bisikan hati, pikiran, mimpi kosong, angan-angan selangit demi menutup celah bagi keburukan yang besar. Caranya adalah dengan menyibukkan hati dengan ibadah dan aktivitasseperti pekerjaan dakwah. Jika terus dibiarkan rasa cinta itu akan terus menguat dan pada akhirnya berujung pada hilangnya kesejukan hati dalam beribadah.

3. Intropeksi
Tanyakan hati kenapa kita harus jatuh cinta. Kemudian lihat kelemahan yang ada pada diri kita seperti usia yang masih muda, pengetahuan yang masih minim, penghasilan yang belum ada, kuliah yang masih panjang. Dan sadarilah bahwa terlalu dini jika harus terlibat dengan ungkapan-ungkapan cinta padahal orang yang kita sukai tidak akan bisa didapatkan untuk saat sekarang. Maka baiknya perbaiki diri agar menjadi terbaik untuk pasangan kita saat Allah pertemukan kita dengan pasangan terbaik.

4. Cari kesibukan yang banyak
Kesibukan yang banyak akan mampu menjaga kita tetap dalam jalur yang benar dalam mendefenisikan dan memposisikan perasaan. Apalagi kesibukan tersebut adalah kesibukan-kesibukan yang bernilai Ibadah seperti dakwah, menuntut ilmu dan mecari nafkah.


Namun ini dilakukan jika kita benar-benar belum siap untuk menikah. Karena sering sekali manusia salah dalam mengukur kesiapannya untuk menikah. Ini yang sering membuat mereka takut untuk menikah. Poin terpenting terakhir adalah bagaimana kita mengelola perasaan cinta yang muncul, jika semua yang muncul kita landaskan pada harapan akan ridho Allah maka Allah juga akan membantu kita mengelolanya.

“Paling kuat tali hubungan keimanan ialah cinta karena Allah dan benci karena Allah. (HR. Ath-Thabrani).

Izinkan Aku Menikah tanpa Melalui Pacaran

Rudifillah el Karo membahas fenomena yang sering ditemui dalam masyarakat, dimana semua orang tahu kalau perbuatan tersebut berdosa, namun banyak yang tidak mampu atau sangat sulit menghindarinya. Bahkan banyak yang menikmati perbuatan dosa tersebut. Perbuatan tersebut adalah Pacaran sebelum Menikah.

“Agar menarik mari kita ubah statementnya menjadi; “Izinkan Aku Menikah Tanpa melalui Pacaran” ucapnya. Apa hal itu mungkin terjadi?? Menurut Rudifillah el Karo, pertanyaan tersebut muncul ketika seseorang memutuskan untuk menikah tanpa pacaran terlebih dahulu.

Dikatakan, segera ketika berita lamaran merebak di kalangan keluarga beberapa pihak bertanya-tanya kepada orangtua mereka. Kapan kenalnya? Di mana? Bagaimana? Koq bisa memutuskan menerima lamaran jika belum kenal? Nanti kalau orang jahat atau berpenyakit gimana?

“Seolah kita terjebak pada stigma negatif di masyarakat bahwa mengenal seseorang itu harus dari proses pacaran terlebih dahulu,” jelasnya.

Rudifillah el Karo menjelaskan perkenalan (ta’aruf) adalah salah satu tahapan ukhuwah islamiyah, oleh karena itu tak heran jika orang banyak mempertanyakan keputusan menerima lamaran sebeum 'kenal'.

Oleh karena itu tidak heran jika orang banyak mempertanyakan keputusan menerima lamaran sebelum “kenal”. Pepatah juga mengatakan: tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta, tak cinta maka tak dilamar.

Apakah sebelum menikah seseorang harus saling kenal? Rudifillah el Karo menegaskan jawabannya adalah “YA HARUS!!”, meskipun seberapa “kenal”nya, dan apa yang perlu dikenal masih bisa didiskusikan. Jangankan dalam urusan memilih istri/suami, memilih teman-pun perlu mengenal lebih dahulu sebelum cukup percaya untuk pergi bersama.

“Sayangnya, dalam kebiasaan zaman sekarang yang namanya ajang saling kenal antara dua orang anak muda yang akan menikah adalah lewat HUBUNGAN PALSU yang namanya PACARAN,” ujarnya. Mengapa palsu? Dijelaskan, sebab seringkali ketika berpacaran kedua insan tersebut tidak memperlihatkan sifat-sifat asli mereka, serba setuju dengan apa kata pasangannya.

Seseorang yang sedang kasmaran cenderung berubah dari kebiasaan aslinya. Biasanya tidak hobi nonton Bola jadi hobi, tidak suka warna Pink jadi suka. Biasanya cuek sama yg namanya boneka jadi hapal mana boneka Teddy Bear, Kodok Hijau, Hello kitty dll.


“Pacaran dalam istilah sekarang adalah: sebuah bentuk hubungan antara sepasang anak manusia lain jenis yang mempunyai ketertarikan secara intim. Pacaran dengan aktivitas pergaulan fisik tanpa norma Islam (sejak pegang-pegangan tangan sampai seterusnya) bukan hanya tidak perlu, bahkan juga tidak boleh atau haram dalam Islam,” ungkapnya.

Dijelaskan, Islam melarang berzinah dengan arti sejak zina hati (melamun, bermimpi dengan sengaja, melihat foto dan lain-lain tanpa pertemuan fisik), zinah mata (melihat langsung, berpandang-pandangan dan lain-lain) sampai zinah badan.


“Meskipun untuk setiap perbuatan tersebut jenis dosa-nya berbeda, tetapi tetap saja semua adalah dosa. Zinah badan dalam arti sampai hubungan badan terjadi jelas merupakan dosa besar,” terangnya.


Bagaimana cara saling mengenal yang diperbolehkan? Islam mengajarkan proses ta’aruf dalam mencari pasangan hidup. Zaman sebelum ada teknologi canggih, para pendahulu kita biasa mengirim utusan ke pihak calon mempelai.


Pihak pria mengirim seorang wanita terpercaya untuk “melihat” si wanita yang akan dilamar dan sebaliknya pihak wanita juga mengirim pria terpercaya untuk menyelidiki pria yang akan melamarnya. Untuk batas tertentu keduanya dibenarkan untuk saling melihat fisik.


Batasannya adalah sejauh batasan aurat yang boleh dilihat umum (semua tertutup kecuali muka dan telapak tangan). Jika ingin melihat lebih jauh, harus mengirim utusan seperti di atas (wanita melihat wanita dan pria melihat pria).


Aspek fisik bukan hal terpenting untuk dikenal. Aqidah, akhlaq dan fikroh jauh lebih penting sebab itu semua adalah hal-hal yang bersifat lebih menetap dan lebih berpengaruh dalam sikap sehari-hari. 


Untuk mengenal dan memahami isi pikiran, aqidah dan akhlaq haruslah dengan cara peninjauan yang berbeda dengan mengenal hal-hal fisik. Untuk ini, selain mengenal langsung, juga lewat referensi. Misalnya dengan mengirim utusan untuk menyelidiki isi pikiran tersebut, atau dengan cara bertanya secara langsung.

Mengapakah Fit and Proper Test tentang isi pikiran, aqidah dan akhlaq jauh lebih penting daripada perkenalan fisik? Jika ada seseorang yang dengan serius menganggap bahwa hidup ini adalah untuk beribadah, beramal manfaat dan menggapai akhirat, maka ia akan sangat peduli untuk berteman dan apalagi berpasangan hidup dengan yang baik akhlak dan ibadahnya.


Disamping semua hal di atas yang paling penting adalah mempersiapkan diri menjadi suami yang ideal untuk wanita muslimah yang hendak akan kita pinang dan bawa ke syurganya Allah. 

Wallahu a’lam bi showab.

Wanita Muslimah Hanya Untuk Pria Muslim

Wanita Muslimah Hanya Untuk Pria Muslim
Seperti waktu yang terus berjalan, peradaban manusia di dunia pun terus berjalan mengalami perubahan. Waktu hanya berjalan linear seperti garis yang tidak pernah bengkok, berakhir terputus... Namun tidak demikian halnya dengan kehidupan manusia, yang begitu dinamis dan merdeka, bisa seperti garis lurus, bisa berliku-liku, bisa berputar. Manusia bisa memilih kemana jalan yang mau ditempuhnya.

Allah Ta'ala menciptakan manusia dengan dua jenis, laki-laki dan perempuan. Dan penciptaan keduanya adalah untuk hidup berpasangan dalam aturan yang ditetapkan Allah, yaitu pernikahan yang sah. Tujuan manusia untuk hidup berpasangan adalah untuk memperkuat keimanan dan mendapatkan ridho Allah Ta'ala.

Dalam kehidupan dunia hari ini maupun masa lampau, pernikahan menjadi isu yang tidak pernah surut. Berbagai masalah muncul dari masa ke masa, seolah manusia selalu mencari-cari kepuasannya diluar apa yang telah menjadi ketentuan Allah. Dalam ajaran Islam, sebuah pernikahan yang diluar ketentuan Allah, adalah batal dan tidak sah.

Dalam berbagai kasus pernikahan tidak sah, salah satunya adalah berbeda agama (muslim dengan non-muslim) Dalam ajaran Islam terdapat tiga kombinasi pernikahan beda agama, yakni; pertama pernikahan Pria muslim dengan Wanita Ahlil Kitab. Kedua pernikahan Pria muslim dengan Wanita nonmuslim, ketiga adalah pernikahan Wanita muslimah dengan Pria non-muslim.

Mereka yang dikatakan non-muslim adalah orang-orang musyrik, atheis, murtad dan wanita ahlul kitab. Lalu apa yang dimaksud dengan Ahlul Kitab?

Dalam Kitab Mu'jam Al Wasith (Sheikh Ibrahim Anis) dijelaskan bahwa term Ahlul Kitab tersebut ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, penganut agama yang memiliki kitab samawi (Taurat dan Injil) Hal ini pun disebutkan dalam Kitab Al Mugnie Li Ibnu Qudamah- Bab Nikah

Namun demikian para Imam Mazhab memiliki pendapat yang
berbeda: Mazhab Hanafi dan sebagian pengikut Hambali berpendapat bahwa siapa pun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang yang pernah diturunkan oleh Allah maka termasuk Ahlul Kitab. Mereka tidak hanya kaum Yahudi dan Nasrani saja.

Mazhab Syafi'i, yang dimaksudkan dengan Ahlul Kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani saja dari keturunan Israel (Nabi Yakub AS). Artinya Ahlul Kitab hanya terbatas pada satu bangsa saja yakni keturunan Israel. Sehinga bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani tidak termasuk Ahlul Kitab (termasuk orang Kristen di Indonesia, tidak termasuk Ahlul Kitab).

Sedangkan kaum Majusi itu berbeda dengan Ahlul Kitab, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Al Muwaththa yang ditulis oleh Imam Malik bin Anas, "Dari Abdurrahaman bin 'Auf, Rasulullah bersabda,"Perlakukanlah mereka sebagaimana Ahlul Kitab. (Yang dimaksud adalah orang-orang Majusi). Dan yang dimaksudkan dengan non muslim lainnya adalah Hindu, Buddha dan Konghutsu.

Mengenai hukum pernikahan pria muslim dangan wanita ahlul kitab, ada ulama yang mebolehkannya, berdasarkan firman Allah,

"(dan dihalalkan menikahi) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu." (QS AlMaidah (5): 5)

Wanita yang dimaksud adalah kitabiyyah yaitu wanita yang berpegang teguh pada Kitab Injil (asli), yang belum ada perubahan sedikit pun. Sayangnya, saat ini tidak ada kitab injil yang asli sebagaimana telah diturunkan kepada Nabi Isa AS. Isinya telah mengalami perombakan atau perubahan. (Al-Mahalli Juz III hal 251)

Namun demikian perlu ditegaskan bahwa masalah permikahan pria muslim dan wanita ahlul kitab hanya merupakan 'kebolehan' bukan anjuran, bukan pula perintah.

Pernikahan yang sesuai dengan ketentuan syari'at dan lebih aman untuk mewujudkan keluarga sakinah adalah pernikahan dengan sesama umat muslim. Pria atau wanita beragama kristen/katholik dapat digolongkan ke kelompok musyrik dan musrikah. Dan hukumnya haram untuk dinikahi.

Firman Allah SWT dalam surat Al Mumtahanah ayat 10, menyatakan bahwa Allah Ta'ala melarang pernikahan tersebut. Allah berfirman,"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu wanita-wanita yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami mereka) orang-orang kafir.

Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang
kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS Al Mumththa 10) Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, "Ayat inilah yang mengharamkan (pernikahan) wanita muslimah dengan pria musyrik (non-muslim)."

Imam ss-Syaukani dalm Fath Al Qadir, menafsirkan ayat tersebut, "Dalam ayat ini, ada dalil atas ketidakhalalan mu'minah (wanita mukmin) bagi pria kafir"

Dalam hadis riwayat Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah bersabda," Kami (kaum muslim) menikahi ahli kitab, tetapi mereka (ahlul kitab) tidak boleh menikahi wanita Muslimah." Dengan demikian pendapat yang membolehkan pernikahan pria ahlul kitab dengan wanita muslim atas dasar persamaan hak dan kemajemukan, tidak bisa dibenarkan.

Di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sangat jelas disebutkan
Pada pasal 40: "Dilarang melangsungkan perkawainan antara seorang pria dan seorang wanita dalam keadaaan tertentu: "... seorang wanita tidak beragama Islam."(ayat c)

Pada pasal 44:
"Seorang wanita Islam dilarang melangungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam"

Di dalam Islam, sebuah pernikahan yang baik dan aman dari sisi akidah, pendidikan, dan tujuan disyariatkannya adalah pernikahan antara pria dan wanita yang sepadan (sekufu) terutama dalam agamanya, didasari cinta, ketulusan hati dan tanggung jawab serta berniat untuk mengikuti Sunnah Rasulullah.

Dengan mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan oleh Allah, Insya Allah esensi dari tujuan pernikahan yaitu untuk menuju keluarga sakinah (tentram), mawaddah (penuh cinta), rahmah (kasih sayang) dapat tercapai baik di alam dunia maupun alam akhirat.

Apa yang bisa diharapkan, dalam sebuah keluarga dimana ayah dan ibu berbeda agama? Tentulah akan lebih banyak timbul perbedan cara pandang, benturan psikologis di dalam keluarga dalam kegiatan ibadah, memberikan pendidikan kepada anak, pembinaan tradisi keagamaan, tata nilai/akhlak budi pekerti, muamallah antar kedua belah keluarga dan permasalah lainnya yang muncul dalam perjalanan pernikahan.

Dengan demikian, jika ada sepasang suami -istri non muslim, kemudian keduanya berpindah agama dan memeluk Islam, secara otomatis pernikahannya batal menurut hukum perkawainan Islam dan harus 'menikah lagi' dengan hukum perkawinan Islam. Menikah lagi atau pembaruan nikah, dalam bahasa Arab disebut 'Tajdiddun Nikah'.

(jumrahonline, erw)

Mendulang Pahala Dalam Cinta Yang Halal

Mendulang Pahala Dalam Cinta Yang Halal
Pernikahan Dalam Konteks Ibadah.
Budaya masyarakat modern saat ini berkembang semakin kompleks. Perubahan terjadi di setiap sendi kehidupan kita, tidak terkecuali terjadinya pergeseran nilai termasuk pendangkalan makna dari pernikahan. Bahkan pernikahan yang harusnya suci, kini seolah lepas dari tujuan sejatinya.


Kita melihat fenomena diekspos oleh media kaca, betapa mudahnya seseorang melakukan pernikahan, semudah ia melakukan perceraian, bahkan tak jarang berganti-ganti pasangan dengan melakukan nikah mut’ah dan polygami (dengan mengabaikan aturan syara’).

Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan bagian dari tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Dalam melaksanakan konsep kehidupan yang direncanakan dan ditentukan oleh Allah SWT itu, maka sebuah pernikahan diikat dalam suatu aqad (perjanjian) yang suci dan kuat, dengan aturan ketat. Dan mentaatinya, itu merupakan indikator ketaqwaan kepada Allah SWT.

Pernikahan di Masa Jahiliyah
Dari Urwah bin Zubair bahwa Aisyah isteri Rasul Allah SAW telah mengkabarkan kepadanya bahwa sesungguhnya pada masa Jahiliyah terdapat empat macam pernikahan.

Pertama, adalah pernikahan seperti yang dilakukan pada masa sekarang. Seorang laki-laki mendatangi wali wanita untuk melamar putrinya, kemudian memberinya mahar untuk menikahinya.

Kedua, pernikahan Istibdha, yaitu seorang suami berkata kepada isterinya pada saat suci dari haid (subur) "Temuilah si Fulan dan 'bergaullah' dengannya."

Sang suami menjauhinya sementara waktu (tidak menjimaknya) hingga benar-benar ia (isteri) positif hamil dari hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Ia melakukan hal itu, hanya untuk mendapatkan keturuan yang dianggap baik.

Ketiga, Nikahur-raht, sekelompok pria (kurang dari sepuluh) menggauli seorang wanita. Setelah wanita itu hamil dan melahirkan.

Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita itu pun memilih pria dari kelompok itu, dan tidak seorang pun yang boleh menolak.

Keempat, orang ramai berkumpul, lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang orang yang telah menggauli sang wanita. Para wanita itu adalah wanita pelacur.

Mereka meletakkan tanda pada pintu-pintu rumah mereka sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan bergaul dengan mereka.

Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu dipanggilkanlah orang yang ahli seluk-beluk nasab (Al Qafah), dan Al Qafah inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya sebagai bapanya, sehingga
anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang itu tidak boleh mengelak.

Maka ketika Rasulullah SAW datang membawa kebenaran, dihapuslah segala bentuk pernikahan jahiliyah, kecuali pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang hari ini. (Fath al Bary 9/192)

Menikah sebagai Ibadah kepada Allah
Menurut Syaikh Ali As Shabuni dalam Kitab AzZawaaj al Islami al Mubakkir, pernikahan dalam pandangan Islam adalah suatu ibadah dan qurbah (pendekatan diri).

Dengan pernikahan, seorang muslim/muslimah akan memperoleh imbalan dan pahala dari Allah Ta'ala, apabila pernikahan itu didasari dengan niat yang ikhlas. Pernikahan tersebut ditujukan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan dalam Islam, bukan karena dorongan nafsu hewani.

Tetapi semata-mata untuk mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Dari Abi Said mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: "Seorang suami ketika memandang istrinya lalu istrinya memandang (ada syahwat atau tidak)maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan rahmat (kasih sayang) Nya. 


Maka ketika suami memegang telapak tangan istrinya (sebagai upaya perangsangan saat berhubungan) maka dosa-dosa keduanya telah gugur melalui sela-sela jarijemari mereka berdua.(Faydh - al Qadir-hadist 1977-HR Maisarah, Rafi'i)

Dalam konteks penghambaan kepada Allah SWT, pernikahan juga berfungsi untuk menjaga masyarakat dari akhlak keji (zina, homoseksual,lesbian dsb) yang merusak nilai-nilai moral serta menjatuhkan martabat manusia.

Menikah merupakan jalan yang paling mulia dan paling afdhal dalam upaya menjaga kehormatan. Dengan menikah seseorang dapat menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya, sehingga tidak terjatuh dalam berbagai bentuk kemaksiatan dan perzinaan, dengan menikah seseorang dapat menjaga kehormatan dan akhlaknya, tidak mengikuti nafsu syahwatnya.

Maka Islam menghimbau kepada para pemuda untuk segera menikah, untuk menjaga mereka dari berbagai macam kerusakan moral. Dari Ibnu Mas'ud RA telah bersabda Rasulullah SAW : "Wahai para pemuda barang siapa diantara kalian yang sudah mampu maka segeralah menikah, karean hal ini dapat menundukan pandangan dan menjaga kemaluan, barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena hal ini dapat menjadi tameng baginya." (Muttafaqun 'alaihi)

Dengan pernikahan tersebut umat Muslim lebih termotivasi dan bersemangat dalam menegakkan rumah tangga yang Islami, ini menjadi salah satu tujuan pernikahan dalam Islam, yang semestinya setiap mu’min memperhatikannya. Maka Islam sedemikian rupa mengatur urusan pernikahan ini agar pasangan suami istri dapat bekerja sama dalam merealisasikan nilai-nilai Islam dalam rumah tangganya.


Pernikahan merupakan salah satu lahan yang subur bagi peribadahan dan amal sholeh disamping amal-amal ibadah yang lain, sampai seorang suami yang melampiaskan syahwatnya kepada istrinya disebut sebagai shadaqah.

Rasulullah SAW bersabda :
" …Seseorang diantara kalian yang bergaul dengan istrinya adalah sedekah!” Mendengar sabda Rasulullah SAW tersebut para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah seseorang dari kita yang melampiaskan syahwatnya terhadap istrinya akan mendapatkan pahala?” Rasulullah SAW menjawab : "Bagaimana menurut kalian jika seseorang bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah dia berdosa?, Begitu pula jika dia bersetubuh dengan istrinya maka dia akan mendapatkan pahala.”
(HR. Bukhori Muslim dalam Kitab Shahih, dari Abu Dzar)
 

Melalui pernikahan dengan ijin Allah SWT seseorang akan mendapatkan keturunan yang shaleh sehingga menjadi asset yang sangat berharga, karena anak yang sholeh senantiasa akan mendo'kan kedua orang tuanya ketika masih hidup atau sudah meninggal dunia, hal ini menjadi amal jariyah bagi kedua orang tuanya.

Dengan banyak anak juga akan memperkuat barisan kaum muslimin. Ketika mereka dididik dengan nilai-nilai Islam yang benar dan jihad fii Sabilillah, maka akan tumbuh generasi yang komitmen dengan agamanya
dan siap berkorban jiwa raga untuk tegaknya kalimat Allah ta'ala. Inilah antara lain hikmah

Rasulullah SAW menganjurkan umatnya agar menikahi wanita yang subur dan penyayang. "Nikahilah wanita yang subur dan penyayang! Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di hadapan para nabi pada hari kiamat.“(HR Ahmad dan Ibnu Hibban). 


(Jumrah Online, Erw)
 

Potret Cinta Terdalam pada Sang Khaliq (Kisah Sejarah Qurban)

Potret Cinta Terdalam pada Sang Khaliq
"Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih qurban"" (HR. Tirmidzi)

Menurut riwayat sejarah dalam ajaran Islam ibadah qurban pertama kali ada dan dilaksanakan adalah pada masa Nabi Adam As. Yang dilakukan oleh kedua putranya yakni Qabil dan Habil.

Keturunan Adam AS. yang lahir selalu kembar, diantaranya yakni Qabil dengan Iqlima dan Habil dengan Lubada. Maka Allah Ta'ala memerintahkan kepada nabi Adam As. untuk menikahkan anak-anaknya dengan cara bersilang. Yakni Qabil akan dinikahkan dengan saudari kembar Habil (Lubada), begitupun sebaliknya.

Namun karena Qabil menolak perintah tersebut, dengan alasan dia bersikukuh ingin dinikahkan dengan saudari kembarnya sendiri yakini Iqlima yang lebih cantik dari Lubada. Maka sesuai peritah Allah Ta'ala, Adam memerintahkan mereka berdua untuk melakukan upacara qurban. Dengan ketentuan bahwa qurban yang diterima maka dialah berhak akan dinikahkan dengan Iqlima.

Dengan hati yang terpaksa Qabil menyerahkan hasil kebunnya berupa buah-buahan dan sayur mayur. Sedangkan Habil dengan hati yang ikhlas dan penuh kepasrahan menyerahkan hasil ternaknya seekor domba.

Alhasil, Allah Ta'ala lebih memilih qurban yang merupakan harta Habil yang paling berharga dan diserahkan dengan penuh hati yang ikhlas. Sementara qurban Qabil yang diserahkan dengan hati terpaksa membuat qurbannya tidak bernilai di mata Allah Ta'ala. Habil lebih memahami tujuan dari ritual kurban tersebut adalah untuk memperoleh ridho Allah dengan dan kepasrahan kita sebagai hamba kepada sang khaliq Allah 'Azza wa Jalla.

Begitu juga pengurbanan Ibrahim AS, Ia harus menyerahkan putra satu-satunya yang mengisi hidupnya, menjadi inspirasi dan kekuatannya dalam berdakwah dalam menyampaikan ajaran yang hanif, untuk menunaikan perintah Allah Ta'ala.

Bagaimana mungkin Ibrahim AS akan mengurbankan buah hatinya, Ismail, dengan cara yang paling menyedihkan?  Namun keteguhan hati Ibrahim, membuat pertanyaan itu menjadi tidak berarti. Hanya kecintaan, kepasrahan dan ketaqwaan Ibrahim kepada Allah 'Azza wa Jalla. Ia begitu yakin akan melaksanakan perintah tersebut.

Habil putra Adam AS dan Ibrahim AS memiliki kisah yang sama atas pengorbanan yang ekstrim sebagai peringatan seluruh umat muslim dalam mewujudkan serta mendapatkan cinta dari  Allah Ta'ala.


Di sini jelas bahwa ritual Qurban atau korban adalah wujud kedekatan yang sangat dekat, seorang makhluk kepada Khaliq-nya, sekaligus pembuktian dari ikrarnya: "Qul inna shalaati wa nusukii wamahyaaya mamaati lillahi Rabbil 'aalamiin" (sungguh shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku adalah milik Allah, Tuhan seluruh alam).

Qurban adalah cara Allah Ta'ala menguji kita untuk menjawab bahwa apa dan siapa dan sebenarnya yang menjadi orientasi atau tujuan hidup manusia. Apakah harta yang paling berharga atau kecintaan kepada Allah Ta' ala, dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi yang dilarang-Nya?

Qurban dan Persaudaraan Umat Muslim

Berat sekali ujian keimanan pada kehidupan seperti sekarang ini, pragmatisme menjadi fenomena sehari-hari. Merosotnya nilai-nilai Islam dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kalau dalam masyarakat, suara dan jeritan kaum fakir miskin dan rakyat jelata tampaknya semakin hari semakin terbaikan.

Mata hati kita mulai kabur dan hanya mampu melihat kehidupan yang gemerlap dengan kemewahan. Bahkan logika kita pun sudah tak sanggup memilah yang benar di antara yang salah. Segala sesuatu yang kita perbuat hanya untuk kepentingan kita sendiri dan kepedulian kita terhadap sesama pun sudah makin pudar.


Di perayaan Idul Adha saat ini, hendaknya menjadikan kita kembali kepada syariat untuk pensucian jiwa, membersihkan kotoran yang ada pada hati kita, sifat-sifat ananiyah atau individualistis dibersihkan melalui ibadah haji dan menyembelih kurban. Pesan tersirat dari dalam akhir kisah Ibrahim adalah ajaran Islam yang begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.

Kepedulian sosial kita kepada sesama umat manusia melalui penyebarluasan daging kurban, hendaknya bukan hanya sekadar ritual semata, tetapi terealisasi dalam silahturahmi, hubungan persaudaraan sejati yang kita jalin antar sesama muslim. Rasa solidaritas sosial yang menjembatani kesenjangan sosial, apalagi dalam situasi yang tidak menguntungkan.

Dengan Qurban pun Allah Ta'ala mengajarkan kepada kita apakah kita memiliki kepedulian hanya untuk diri sendiri atau berbagi sesama makhluk ciptaan-Nya. Bukan hanya turut merasakan penderitaan mereka yang tertimpa ketidak beruntungan, tidak juga hanya berbagi sepotong daging qurban. Tetapi lebih dari itu, memberi kesempatan untuk meraih apa yang menjadi harapan mereka di masa mendatang.

jumrahonline

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...