|  BERANDA  |  TAJUK TERKINI  |  JELAJAH  |  TSAQOFAH ISLAM  |  SIRAH NABAWIYAH  |  INSPIRASI  |  SAKINAH  |  MAUIDHATUL HASANAH  |  TAHUKAH?  |  JUMRAH.COM  |

Misteri Jembatan Setipis Rambut Dibelah Tujuh, Shirathal Mustaqim

Misteri Jembatan Setipis Rambut Dibelah Tujuh, Shirathal Mustaqim
Benarkah jembatan Shirathal Mustaqim seperti rambut dibelah tujuh? Jembatan ini merupakan jembatan yang harus dilalui siapa pun tanpa terkecuali pada waktu hari kiamat tiba. Jembatan ini disebut-sebut sebagai penghubung antara neraka dan surga. Dan menurut cerita yang beredar, jembatan ini seperti rambut yang dibelah tujuh.

Adapun cerita ini berkembang karena penafsiran dari Surah Al Fatihah yang di dalamnya disebut kata "Shirathal Mustaqim". Beberapa ulama meyakini, arti "jalan yang lurus" adalah jembatan yang lurus dan panjang. Wallahualam. Dan tidak ada dalil yang shahih yang menyatakan bahwa Shirath seperti rambut yang dibelah tujuh.

Dalam riwayat ditemukan bahwa nama jembatan ini adalah jembatan Shirath yang terbentang diatas neraka menuju ke surga. Semua manusia akan melewatinya sesuai dengan amalan mereka. Ada yang jatuh ke neraka, ada yang melewatinya dengan cepat dan ada yang melewatinya dengan lambat.


Dalam suatu riwayat mengatakan, bahwa adanya suatu jembatan diatas neraka Jahanam adalah hadist yang artinya berbunyi: "Maka dibuatlah As Shirath diatas Jahanam," Hadist Riwayat Al Bukhori dan Muslim

Diriwayatkan pula bahwa jembatan ini lebih lembut dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Seperti ucapan Abu Sa’id Al Hudri “Sampai kepada ku bahwa jembatan ini (As Shirath) lebih lembut dari rambut dan lebih tajam dari pedang” hadist riwayat Imam Muslim.

Melewati jembatan As Shirath merupakan salah satu peristiwa dasyat yang akan dialami oleh manusia yang telah mengucapkan ikrar syahadat tauhid. Menyebrangi jembatan yang terbentang di dua punggun Neraka Jahanam ini tidak hanya dialami oleh umat Islam dari kalangan Nabi Muhammad SAW. Melainkan juga oleh umat beriman dari para Nabi sebelumnya, baik mereka yang imannya sejati, maupun mereka yang suka berbuat maksiat dan kaum munafik.

Menurut sebagian ahli tafsir, peristiwa menyebrangi jembatan diatas neraka, telah diisyaratkan Allah dalam Al-Qur’an.

“Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.” (Qs Maryam/19: 71-72).

Lalu bagaimanakah bentuk jembatan Shirath yang nantinya akan kita lalui?  Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW menggambarkan keadaan jembatan As Shirath. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

“Licin lagi menggelincirkan, diatasnya terdapat besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, Ia bagikan pohon berduri di Nejd, dikenal dengan pohon Sa’dan. Dan dibentangkanlah jembatan Jahanam. Akulah orang pertama yang melewatinya. Doa para Rasul pada saat itu, “Ya Allah Selamatkan lah, selamatkanlah,”. Pada Shirath itu juga terdapat pengait-pengait seperti duri pohon Sa’dan. Hanya saja tidak ada yang mengetahui ukuran besar kecuali Allah. Maka Ia mengait manusia, sesuai dengan amalan mereka,” (HR. Al-Bukhari).

Jembatan Shirath tersebut amat licin, sehingga sangat mengkuatirkan bagi siapa saja yang melewatinya. Dimana kita mungkin saja terpeleset dan terperosok jatuh. Shirath tersebut juga mampu menggelincirikan orang-orang yang berjalan diatasnya. Para ulama telah menerangkan bahwa maksud dari kata menggelincirkan, yaitu jembatan tersebut bergerak ke kanan dan ke kiri, sehingga membuat orang yang melewatinya takut akan tergelincir dan tersungkur jatuh.

Shirath tersebut memiliki besi pengait yang besar, penuh dengan duri dan dibagian ujungnya bengkok. Ini menunjukan siapa yang terkena besi pengait ini tidak akan lepas dari cengkramannya. Terpeleset atau tidak, tergelincir atau tidak dan tersambar oleh pengait besi atau tidak semua itu ditentukan oleh amal ibadah dan keimanan masing-masing.

Shirat ini terbentang di neraka Jahanam sehingga barang siapa yang terpeleset dan tergelincir atau terkena sambaran besi pengait maka Ia akan jatuh ke dalam Neraka Jahanam. Shirath tersebut sangat halus sehingga akan sulit melewatkan kaki di atasnya. Shirath juga sangat tajam sehingga bisa membelah orang yang melewatinya.

Sekalipun Shirath ini halus dan tajam manusia tetap dapat melewatinya. Karena Allah SWT maha kuasa untuk menjadikan manusia mempu berjalan diatas apapun. Kesulitan untuk melewati Shirath karena kehalusannya atau terluka karena ketajamannya, semua itu tergantung pada kualitas keimanan setiap orang yang melewatinya.

Setelah kita mengetahui bagaimana bentuk Shirath dalam hadist-hadist shahih, kita akan mengetahui pula bagaimana keadaan manusia saat melewati Shirat tersebut. Rasulullah SAW bersabda dalam (Shahih, HR. Muslim) artinya:

"Lalu diutuslah amanah dan rahim (tali persaudaraan) keduanya berdiri di samping kiri-kanan shirath tersebut. Orang yang pertama lewat seperti kilat." Aku bertanya: "Dengan bapak dan ibuku (aku korbankan) demi engkau. Adakah sesuatu seperti kilat?" Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Tidakkah kalian pernah melihat kilat bagaimana ia lewat dalam sekejap mata? Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, kemudian seperti burung dan seperti kuda yang berlari kencang."


Akan ada manusia yang menyebrangi jembatan dengan selamat dan ada pula yang terluka karena sabetan duri-duri yang mencabik-cabik tubuhnya. Lalu ada pula mereka yang gagal menyebranginya hingga ujung, mereka terpeleset, tergelincir hingga terjatuh dan terjerembab dengan wajahnya ke nereka yang menyala-nyala di bawah jembatan. Lalu bagaimana seseorang menyebranginya dengan selamat?

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa saat peristiwa menegangkan itu sedang berlangsung, para Nabi dan malaikat sibuk mendoakan bagi orang-orang berimana. Mereka berdoa yang artinya, “Ya Rabbi selamatkanlah, Ya Rabbi selamatkanlah”. Selanjutnya Allah akan meberikan cahaya bagi orang yang beriman dan bertaqwa. Allah telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an yang artinya artinya :

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu, dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman yang bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS.At-Tahrim:8)

Dan pada saat itulah, setiap orang tidak akan ingat pada orang lainnya, betapa sulitnya bagi kita untuk menyeberang di atasnya. Tetapi Allah maha perkasa sekaligus maha bijaksana, Allah akan memberikan bekal bagi orang-orang beriman dan bertaqwa untuk sangggup melintas di jembatan tersebut.

Sungguh pemandangan yang pastinya sangat mendebarkan. Pantaslah jika Rasulullah menyatakan, bahwa jika saat menyeberangi jembatan di atas neraka Jahanam ini sedang berlangsung, seseorang tidak akan ingat orang lainnya sebab setiap orang sibuk memikirkan keselamatannya masing-masing.
jumrahonline

Adalah Ja'far bin Abi Thalib, Pria yang Mirip Rasulullah

Adalah Ja'far bin Abi Thalib, Pria yang Mirip Rasulullah
Ja’far Bin Abi Thalib merupakan satu diantara lima sahabat Rasulullah SAW yang memiliki kemiripan wajah dengan Rasulullah. Namun diantara kelimanya Ja’far tercatat paling mirip dengan Rasulullah. Hingga diriwayatkan, jika dilihat dari belakang, sulit membedakan antara Ja’far dan Rasulullah. Tidak hanya tampilan fisik, karakter Ja’far juga mirip dengan Rasulullah.

Di riwayatkan dari Muhammad bin Usamah bin Zaib bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepada Ja’far, "Bentuk wajahmu serupa dengan wajahku, dan akhlakmu serupa dengan akhlakku karena kamu berasal dariku dan merupakan keturunanku."

Karena kemiripan akhlak dan karakternya inilah Ja’far bin Abi thalib mudah menerima Islam saat diterangkan dengan sahabat yakni Abu Bakar Ash Shiddiq. Ia tercatat menjadi orang ke-31 yang memeluk Islam.


Bagaimanakah perjalanan seorang Ja'far bin Abi Thalib dan apa sajakah pengaruh beliau dalam agama Islam?

Ja’far yang adalah sepupu Rasulullah ini langsung menyatakan keislamannya begitu mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah SWT. Putra Abu Thalib ini kemudian menyampaikan keislamannya kepada Asma bin Umais. Ja’far pun lalu mengajak istrinya untuk kemudian masuk Islam. Ia begitu yakin bahwa mengikuti ajaran Islam akan membawanya pada kebaikan dunia dan akhirat.

Kelembutan serta kecerdasan seorang Ja'far bin Abi Thalib berhasil mengantarkan istrinya Asma bin Umais ke jalan yang hidayah, hingga nanti disepanjang jalan hidupnya, keduanya bersama-sama mengarungi pahit manis sebagai seorang muslim yang bertakwa.

Meski kebahagiaan Islam telah menyelimuti hatinya, namun kebahagian kakak Ali Bin Abi Thalib ini belum utuh. Sebab sang ayah yang sangat dicintainya, Abu Thalib enggan mengikuti kebenaran yang dibawa keponakannya, Muhammad. Padahal Ia selalu dibarisan terdepan membela Rasulullah dari kedengkian kaum Quraisy. Hanya doalah yang bisa dipanjatkan Ja’far bin Abi Thalib agar ayah mau membuka hatinya menerima hidayah Islam.

Maka ketika Islam semakin menyebar di Kota Mekah kaum Quraisy semakin marah dan tidak terima. Mereka bersekongkol membuat banyak cara untuk menjatuhkan Islam serta melemahkan iman kaum Muslimin. Maka ketika Quraisy tidak bisa menghalangi dakwah Rasulullah lantaran mendapatkan pembelaan dari keluarga besarnya, mereka pun mulai melampiaskan amarah dengan menyiksa kaum miskin dan lemah.

Tapi siksaan demi siksaan yang diterima kaum muslimin justru membuat iman mereka semakin kokoh dan kebal. Demikia kejam siksaan kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin, hingga keinginan melawan semakin besar, termasuk Ja’far Bin Abi Thalib. Ia begitu kesal dengan perlakuan kaumnya tapi Ia begitu tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Rasulullah SAW melarang kaum Muslimin untuk melawan dan hanya meminta agar bersabar.


Ja'far Memimpin Hijrah ke Habasyah

Disaat kekejaman kaum Quraisy memuncak Rasulullah SAW meminta agar kaum muslimin hijrah ke negeri Habasyah, negeri yang dipimpin Raja Najashi, seorang Raja Nasrani yang adil dan tidak pernah berbuat dzalim.

Rasulullah memilih Ja'far Bin Abi Thalib memimpin kaum muslimin hijrah menyelamatkan akidahnya ke negeri Habasyah. Rasulullah SAW begitu mengenal Ja'far seperti mengenal dirinya sendiri. Ja'far diplih karena memiliki kecerdasan, keberanian sekaligus ketenangan semuanya itu semakin didukung karena Ia memiliki kemiripan dengan Rasulullah. Sehingga menjadi pelipur lara bagi kaum muslimin bila jauh dari nabi mereka.

Benar saja, di negeri Habasyah muslimin bisa hidup nyaman tanpa harus terganggu saat beribadah. Namun kabar hijrahnya 100 kaum muslimin ke negeri Habasyah membuat kaum musrik Quraisy makin tidak suka. Mereka tidak tenang, pengikut
Rasulullah beribadah dengan nyaman disana. Mereka kemudian berencana untuk memulangkan kaum muslimin ke Mekkah. Mereka mengutus Amar Bin Ash, pemuda Quraisy yang dikenal paling piawai berdiplomasi dan dekat dengan Raja Najashi

Sambil membawa hadiah dari kaum Quraisy untuk dipersembahkan kepada Raja Habasyah, Amr Bin Ash begitu yakin raja akan mengembalikan kaum muslimin ke Mekah. Di hadapan Raja Najashi yang beragama Nasrani, Amr Bin Ash mulai bersilat lidah. Amar membujuk raja bahwa agama Islam yang dianut oleh penduduk Mekah yang hijrah ke Habasyah berbeda dengan Nasrani, bahkan agama yang dibawa Muhammad ini dituduh memandang buruk terhadap agama Nasrani.

Raja Habasyah yang begitu kokoh imannya pada Nasrani sangat marah. Namun Ia tidak langsung mengusir kaum muslimin. Di sinilah kebenaran hadist Nabi tentang keadilan Raja Najashi terbukti. Raja Nasrani yang shaleh ini tidak mau bertindak sebelum mendengar langsung dari kaum Muslimin yang tinggal di negerinya.

Lalu Ja’far maju menjelaskan tentang Islam mewakili umat Islam dan mengapa Ia datang ke negeri Habasyah. Dengan tutur kata yang amat baik serta jujur apa adanya pernyataan Ja’far justru mengundang simpati raja.


Bahkan Ja’far menjelaskan tentang ajaran Islam, tentang Maryam dan Al Masih yang dituturkan Al-Qur’an. Mendengar itu Raja Najashi bergetar hatinya tidak kuasa menahan haru. Apa yang disampaikan Ja’far dan ajaran Nasrani yang Ia yakini berasal dari satu sumber yang sama. Maka saat itu pula, Najashi menjamin keamanan kaum Muslimin di Habasyah.

Menurut beberapa sumber, Raja Najashi memeluk Islam, namun tetap merahasiakannya kepada rakyatnya. Tidak hanya itu, murid-murid Ja’far di Habsyah kemudian menyebarkan ajaran tauhid disana hingga Islam mulai tersebar di negeri Habasyah.

Di negeri hijrah pertamanya itu, Asma, istri Ja’far melahirkan putra pertama mereka dan diberi nama Abdullah. Sebuah nama yang menujukan keislaman seseorang sebagai hamba yang hanya mengabdi kepada Allah. Kelahiran putra Ja’far disambut bahagia oleh Najashi. Raja memberinya hadiah, sang raja pun menamainya dengan nama yang serupa dengan putra Ja’far.


Ja'far di Medan Pertempuran Melawan Tentara Romawi

Selama tujuh tahun di negeri Habasyah, Ja’far dan kaum muslimin begitu merindukan Rasulullah. Sebuah kabar datang membuat hati Ja’far hancur, Abu Thalib, sang ayah yang amat dicintainya wafat dalam keadaan tidak beriman.

Di lain pihak, kaum muslimin mendapatkan kemenangan gemilang pada perang Haibar, Jafar Bin Abi Thalib meninggalkan Habasyah menuju Madinah. Kedatangannya begitu membahagiakan Rasulullah, hingga Nabi sendiri tidak menyadari kebahagiaan yang dirasakannya apakah karena kemenangannya dalam perang Haibar, atau karena kedatangan Ja’far.

Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah pada awal tahun 8 Hijriyah, Rasulullah menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Mut’ah. Rasulullah menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima.


Rasulullah bersabda, "Kalau Zaid terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Ja’far bin Abi Thalib. Jika ia terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Abdullah bin Rawahah. Dan jika Abdullah terbunuh, maka biarlah kaum muslimin memilih bagi mereka sendiri." 

Kemudian Rasulullah memberikan bendera berwarna putih kepada Zaid bin Hartisah.

Berangkatlah pasukan ini. Ketika telah sampai di daerah Mu’tah
sebuah kota dekat Syam daerah Yordania, mereka mendapati pasukan Romawi telah siap dengan jumlah sebanyak 200 ribu tentara yang terlatih. Diperkuat dengan 1000 milisi Nasrani dari kabilah-kabilah Arab. Jumlah sebegitu besar tidak pernah ditemui oleh kaum muslimin sebelumnya. Sementara tentara kaum muslimin yang dipimpin oleh Zait Bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara.

Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang ini bertemu dan pertempuran dahsyat pun terjadi. Panglima Muslimin, Zaid Bin Haritsah gugur dalam pertempuran sebagai syuhada, melihat Zaid jatuh tersungkur, Ja’far kemudian bergegas melompat dan mengambil alih bendera Rasulullah dari tangan Zaid. 


Lalu diacungkan dengan tinggi-tinggi dan kini pimpinan beralih kepadanya. Ja’far menyusup ke dalam barisan musuh seraya mengayunkan pedang ditengah musuh yang mengepungnya. Dia menyerang musuh yang datang dari kanan dan kiri dengan sekuat tenaga sambil melantunkan syair:

"Wahai… alangkah dekatnya surga
Yang sangat lezat dan dingin minumannya
Romawi yang telah dekat kehancurannya
Wajib bagiku menghancurkannya 

apabila menemuinya..."
 

Hingga suatu ketika sebuah tebasan pedang mengenai tangan kanannya, maka tangan kirinya langsung mengambil bendera dari tangan kanannya yang tertebas pedang, tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Tapi Ia tidak gentar dan putus asa, dipeluknya bendera Rasulullah dengan kedua lengannya dengan terus menerjang musuh hingga akhirnya tubuh Ja’far ditebas musuh hingga gugur sebagai syuhada di pertempuran Mut’ah itu.

Rasulullah sangat sedih mendengar kabar gugurnya Jafar, dan pergi ke rumah Ja’far di dapatinya Asma, istri Ja’far yang sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya, memandikan dan memakaikan baju bersih kepada anak-anaknya. Asma sendiri menuturkan kedatangan Rasulullah.

"Ketika Rasulullah mengujungi kami, terlihat wajah Rasulullah diselubungi kabut sedih, hatiku cemas tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk, beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami.”

Asma kemudian memanggil mereka semua, dan disuruhnya menemuii Rasulullah. Anak-anak Ja’far kemudian melompat kegirangan mengetahui kedatangan Beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman dengan Rasulullah. Rasulullah langsung memeluk erat anak-anak Ja’far sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata Rasulullah berlinang membasahi pipi mereka.

jumrahonline

Sejarah Dakwah Rasulullah SAW periode Mekkah

Sejarah Dakwah Muhammad Periode Mekkah
Masyarakat Arab Jahiliyah Periode Mekkah

Objek dakwah Rasulullah SAW pada awal kenabian adalah masyarakat Arab Jahiliyah, atau masyarakat yang masih berada dalam kebodohan. Kebodohan masyarakat Arab waktu itu, terdapat dalam bidang agama, moral dan hukum. (Baca: Sejarah Dakwah Rasulullah SAW periode Madinah)


Dalam keagamaan, umumnya masyarakat Arab kala itu sudah menyimpang jauh dari ajaran agama Tauhid, yang telah diajarkan oleh para Rasul terdahulu, seperti Ibrahim AS. Mereka umumnya beragama Watsani atau agama menyembah berhala, berhala-berhala yang mereka puja itu mereka letakkan di Ka’bah yang jumlahnya mencapai 300 lebih. Diantara berhala-berhala yang termashur adalah; Hubal, Khuza’ah, Lata, Uzza dan Manat.
       
Selain itu ada pula sebagian masyarakat Arab Jahiliyah yang menyembah malaikat dan bintang yang dilakukan kaum Sabi’in serta menyembah matahari, bulan, dan jin yang diperbuat oleh sebagian masyarakat diluar kota Mekkah, dalam bidang moral, masyarakat Arab Jahiliyah telah menempuh cara-cara yang sesat seperti :

- Bila terjadi peperangan antar kabilah, maka kabilah yang kalah perang akan dijadikan budak oleh kabilah yang menang perang.
- Menempatkan perempuan pada kedudukan rendah. Dalam masyarakat Arab Jahiliyah perempuan tidak berhak mewarisi harta peninggalan suaminya, ayahnya, atau anggota keluarga yang lain. Bahkan seorang wanita  (istri) boleh diwarisi oleh anak tirinya atau anggota keluarga lain dari suaminya yang telah mati.
- Memiliki kebiasaan buruk, yakni berjudi dan minum-minumman keras. Kejahiliyahan mereka dalam bidang hukum antara lain anggapan mereka bahwa judi, bermabuk-mabukkan, berzina, mencuri, merampok dan membunuh, bukan perbuatan yang salah.

Namun tidak semua perilaku masyarakat Arab Jahiliyah itu buruk, mereka memiliki keberanian dan kepahlawanan suka menghormati tamu, murah hati dan mempunyai harga diri, juga dalam bidang perdagangan ada sebagian  masyarakat Arab Jahiliyah yang sudah memiliki kemajuan, misalnya, para pedagang dari kabilah Quraisy.


Berdagang pada musim panas ke negeri Syam (sekarang Suriah, Libanon, Palestina dan Yordania) dan pada musim dingin ke Yaman (lihat Q;S Quraisy, 106: 1-4). Mereka berdagang bulu domba, unta, kulit binatang dan tali.

Pengangkatan Muhammad sebagai Rasul

Allah Ta'ala yang pengasih lagi penyayang tidak membiarkan umat manusia, khususnya masyarakat Arab (saat itu) berada dalam kebodohan sepanjang zaman. Lalu Dia mengutus seorang nabi dan rasul-Nya yang terakhir yakni Muhammad. Pengangakatan Muhammad sebagai Rasul, terjadi pada 17 Ramadhan, 13 tahun sebelum hijrah (610 M) tatkala Muhammad sedang bertahanus di Gua Hira. Saat itu Muhammad berusia 40 tahun. Gua Hira terletak di Jabal Nur, beberapa kilo meter sebelah utara kota Makkah dan berada di lerengnya (kira-kira berjarak 20 m dari puncaknya).

Pengangkatan Muhammad sebagai Rasulullah ditandai dengan turunnya malaikat Jibril pada 17 Ramadhan 610 M, untuk menyampaikan wahyu yang pertama yakni Al-Qur’an pertama, dalam sejarah Islam dinamakan Nuzul Al-Qur’an (Nuzulul Qur'an)

Setibanya di rumah, Muhammad menceritakan kepada istrinya, Khadijah, peristiwa yang dialaminya. Sebenarnya Khadijah mempercayai segala apa yang diceritakan suaminya, tetapi ia ingin mengetahui bagaimana pendapat Waraqah bin Naufal, saudara sepupunya terhadap peristiwa yang dialami suaminya itu. Waraqah adalah seorang pemikir yang telah berusia lanjut beragama Nasrani, yang telah menyalin kitab injil dari bahasaIbrani kedalam bahasa Arab.

Setelah Waraqah bin Naufal mengetahui semua peristiwa yang dialami oleh Muhammad, ia berkata, "Itu adalah Namus (Jibril) yang pernah datang kepada Isa AS. Alangkah baiknya kalau aku masih muda dan masih hidup sewaktu kamu diusir oleh kaummu, "Muhammad berkata. “Apakah kaumku akan mengusirku? Jawab Waraqah, "Ya, tidak seorangpun datang dengan membawa seperti apa yang kamu bawa (ajaran Islam), yang tidak dimusuhi, jika sekiranya aku masih hidup pada masa itu, tentu aku akan menolongmu dengan sekuat tenagaku." (H.R. Ahmad, Al-Qur’an Bukhari dan Muslim).

Strategi Dakwah Rasulullah Periode Mekkah


Tujuan dakwah Rasulullah SAW pada periode Mekkah adalah agar masyarakat Arab meninggalkan akhlaq jahiliyah, moral dan hukum, sehingga menjadi umat yang meyakini kebenaran kerasulan Muhammad dan ajaran Islam yang disampaikannya, untuk diamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika masyarakat Arab telah mengamalkan seluruh ajaran Islam dengan niat ikhlas karena Allah SWT tentu akan memperoleh keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.

Strategi dakwah Rasulullah dalam berusaha mencapai tujuan yang luhur tersebut sebagai berikut:

1. Dakwah secara sembunyi-sembunyi selama 3-4 tahun. Cara ini ditempuh oleh Rasulullah karena yakin bahwa masyarakat Arab Jahiliyah masih sangat kuat mempertahankan kepercayaan dan tradisi warisan leluhur mereka, sehingga mereka bersedia berperang dan rela mati dalam mempertahankannya.


Pada masa dakwah secara sembunyi-sembunyi ini, pusat dakwah Rasulullah difokuskan di rumah Arqam bin Abi Arqam.Orang orang yang mula mula masuk Islam pada periode Makkah ini dikenal dengan istilah as-Sabiqunal Awwalun.

2. Dakwah secara terang-terangan

Dakwah terang-terangan ini dimulai sejak tahun ke-4 dari kenabian, yakni setelah turunnya wahyu yang berisi perintah Allah SWT agar dakwah itu dilaksanakan secara terang-terangan. Wahyu tersebut berupa ayat Al-Qur’an surah 26: 214-216 (coba kamu cari dan pelajari).

Tahap-tahap dakwah Rasulullah secara terang-terangan ini dilakukan dengan beberapa cara antara lain sebagai berikut:
 

a. Mengundang kaum kerabat keturunan dari bani Hasyim untuk menghadiri jamuan makan dan mengajak mereka agar masuk Islam. Tapi karena cahaya Hidayah Allah SWT waktu itu belum menyinari hari mereka, mereka belum menerima Islam sebagai agama mereka. Namun ada 3 orang kerabat dari kalangan Bani Hasyim yang sebenarnya sudah masuk Islam, tapi merahasiakan keislamannya, pada waktu itu dengan tegas menyatakan keislamannya. Mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Jahiliyah’far bin Abu Thalib, dan Zaid bin Haritsah.

b. Rasulullah mengumpulkan penduduk kota Makkah, terutama yang berada dan bertempat tinggal di sekitar Ka’bah untuk berkumpul di Bukit Syafa, yang letaknya tidak jauh dari Ka’bah.

Rasulullah memberikan peringatan kepada semua yang hadir agar segera meninggalkan penyembahan terhadap berhala-berhala dan hanya menyembah atau menghambakan dirinya kepada Allah SWT, Yang Maha Esa, pencipta dan pemelihara alam semesta. Rasulullah juga  menegaskan, jika peringatan yang disampaikannya itu dilaksanakan tentu akan meraih ridha Illahi bahagia di dunia dan akhirat. Tetapi apabila peringatan itu diabaikan tentu akan mendapat murka Allah Ta'ala, sengsara di dunia dan akhirat.

Menanggapi dakwah Rasulullah tersebut diantara yang hadir ada kelompok yang menolak disertai teriakan dan ejekan. Ada kelompok yang diam saja lalu pulang. Bahkan Abu Lahab, bukan hanya mengejek, tetapi berteriak-teriak bahwa Muhammad orang gila, seraya ia berkata "Celakalah engkau Muhammad, untuk inikah engkau mengumpulkan kami?" sebagai balasan terhadap kutukan Abu Lahab itu turunlah ayat Al-Qur’an yakni berisi kutukan Allah SWT terhadap Abu Lahab, 111: 1-5.

 
Pada periode dakwah secara terang-terangan ini juga telah menyatakan diri masuk Islam dua orang yang kuat dari kalangan kaum Quraisy, yaitu: Hamzah bin Abdul Muthalib (paman nabi SAW), dan Umar bin Khatab, Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam pada tahun ke-6 dari kenabian, sedang Umar bin Khatab (581-644 M), tidak lama setelah sebagian kaum Muslimin berhijrah ke Habsyah atau Ethiopia pada tahun 615M.

c. Rasulullah menyampaikan seruan dakwahnya kepada penduduk di luar kota Mekkah, sejarah mencatat bahwa penduduk di luar Mekkah yang masuk Islam antara lain:
 

- Abu Zar Al-Giffari, seorang tokoh dari kaum Giffar, yang bertempat tinggal disebelah barat laut Mekah atau tidak jauh dari laut Merah, menyatakan diri dihadapan Rasulullah SAW masuk Islam. Keislamannya itu kemudian diikuti oleh kaumnya.

- Tufail bin Amr Ad-Dausi, seorang penyair terpandang dari kaum Daus yang bertempat tinggal di wilayah barat kota Mekah, menyatakan diri masuk Islam dihadapan Rasulullah SAW, keislamannya itu diikuti oleh bapak, istri, keluarganya serta kaumnya.


- Dakwah Rasulullah terhadap penduduk Yatsrip (Madinah) yang datang ke Mekkah untuk berziarah nampak berhasil. Berkat hidayah Allah SWT, para penduduk Yatsrip, secara bergelombang telah masuk Islam dihadapan Rasulullah. 


Gelombang pertama tahun 620 M telah masuk Islam dari suku Aus dan Khazraj sebanyak 6 orang. Gelombang kedua 621 M, sebanyak 13 orang dan pada gelombang ketiga tahun berikutnya lebih banyak lagi, yakni 73 orang diantaranya 2 orang perempuan.
 
Pada gelombang ketiga ini telah datang ke Mekkah untuk berziarah dan menemui Rasulullah, penduduk berasal dari Yatsrip. Waktu itu ikut pula berziarah ke Mekkah, orang-orang Yatsrip yang belum masuk Islam. Diantaranya Abu Jabir Abdullah bin Amr, pimpinan kaum Salamah, yang kemudian, menyatakan diri masuk Islam dihadapan Rasulullah.

Pertemuan umat Yatsrip dengan Rasulullah ini, terjadi pada tahun ke 13 dari kenabian dan menghasilkan Bai’atul Aqabah, isi Bai’atul aqabah tersebut merupakan peryataan umat Islam Yatsrip bahwa mereka akan melindungi dan membela Rasulullah, walaupun untuk itu mereka harus mengorbankan tenaga, harta, bahkan jiwa, selain itu mereka meminta kepada Rasulullah dan para pengikutnya agar berhijrah ke Yatsrip.

Setelah terjadi peristiwa Bai’atul Aqabah itu, kemudian Rasulullah menyuruh para sahabatnya yakni orang-orang Islam yang bertempat tinggal di Mekkah, untuk segera berhijrah ke Yatsrip. Para sahabat Rasulullah melaksanakan suruhan Rasulullah tersebut. Mereka berhijrah ke Yatsrip secara diam-diam dan sedikit demi sedikit, sehingga dalam waktu dua bulan umat Islam Mekkah telah berhijrah ke Yatsrip.

Sedangkan
Rasulullah, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, dan Ali bin Abu Thalib masih tetap tinggal di Mekkah, menunggu perintah dari Allah SWT untuk berhijrah. Setelah datang perintah dari Allah SWT kemudian Rasulullah berhijrah bersama Bakar Ash-Shiddiq ra meninggalkan kota Mekkah tempat kelahirannya menuju Yatsrip. 

Peristiwa hijrah Rasulullah SAW ini terjadi pada bulan Rabiul Awal tahun 1 hijrah (622M)

Sedangkan Ali bin Abu Thalib, tidak ikut berhijrah bersama Rasulullah, karena ia ditugaskan oleh Rasulullah untuk mengembalikan barang-barang orang lain yang dititipkan kepadanya, setelah perintah Rasulullah itu dilaksanakan kemudian Ali bin Abu Thalib berhijrah menyusul Rasulullah ke Yatsrip.

Reaksi Kaum Kafir Quraisy terhadap Dakwah Rasulullah SAW


Kaum Quraisy menolak dakwah Rasulullah SAW, setelah berdakwah itu dilakukan secara terang-terangan, yakni semjak tahun ke-4 kenabian, Prof.Dr.A Shalaby dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Islam, telah menjelaskan sebab-sebab kaum Kafir Quraisy menentang dakwah Rasulullah, yakni:

a. Rasulullah mengajarkan tentang adanya persamaan hak dan kedudukan antara semua orang. Mulia tidaknya seseorang tergantung ketakwaannya kepada Allah SWT. Orang miskin yang bertkawa, dihadapan Allah SWT lebih mulia dari pada orang kaya yang durhaka (lihat Q.S Al-Hujurat, 49:13).
Kaum kafir Quraisy terutama para bangsawan sangat keberatan dengan ajaran persamaan hak ini, mereka mempertahankan tradisi hidup berkasta-kasta dalam masyarakat, mereka ingin mempertahankan perbudakan, sedangkan ajaran Rasulullah SAW (Islam) melarangnya.

b. Islam mengajarkan adanya kehidupan sesudah mati, yakni hidup di alam kubur dan alam akhirat. Manusia yang ketika di dunianya bertakwa, maka di alam kuburnya akan memperoleh kenikmatandan di alam akhiratnya akan masuk surga. Sedangkan manusia yang ketika didunianya durhaka dan banyak berbuat dosa, maka di alam kuburnya akan di siksa, dan di alam akhiratnya akan masuk neraka.


Kaum kafir Quraisy menolak dengan keras ajaran Islam tersebut, karena mareka merasa ngeri dengan siksaan kubur dan azab neraka.

c. Kaum kafir Quraisy menolak dengan keras ajaran Islam karena mereka merasa berat meninggalkan agama dan tradisi hidup bermasyarakat warisan leluhur mereka, mereka berkata "cukuplah bagi kami apa yang telah kami terima dari nenek moyang kami” (Q.S Al-Mai’dah, 5: 104).

d. Islam melarang menyembah berhala, memperjual belikan berhala-berhala, dan melarang penduduk Mekah dan luar Mekah berziarah memuja berhala, padahal itu semua mendatangkan keuntungan ekonomi terhadap kaum kafir Quraisy. Oleh karena itulah mereka menentang keras dan berusaha menghentikan dakwah Rasulullah.


Usaha-usaha kaum kafir Quraisy untuk menolak dan menghentikan dakwah Rasulullah bermacam-macam antara lain:

- Para budak yang telah masuk Islam, seperti: Bilal, Amr bin Fuhairah, Ummu Ubais an-Nahdiah, dan anaknya al-Muammil dan az-zanirah disiksa oleh para pemiliknya atau tuannya dibatas peri kemanusiaan. Bahkan Az-zanirah disiksa hingga mengalami kebutaan dan Ummu Amr binti Yasit, budak milik bani makhzum disiksa oleh tuannya sampai mati.

Abu Bakar As-siddiq tidak tega melihat saudara-saudaranya seiman disiksa seperti itu, lalu beliau memerdekakan beberapa orang dari mereka termasuk Bilal, dengan cara memberikan uang tembusan kepada tuannya.


- Setiap keluarga dari kalangan kaum kafir Quraisy diharuskan untuk menyiksa keluarganya yang telah masuk Islam, sehingga ia kembali menganut agama keluarganya (agama watsani).

-
Rasulullah sendiri dilempari kotoran oleh Ummu Jamil (istri Abu Lahab) dan dilempari isi perut kambing oleh Abu Jahal, nama asli Abu jahal adalah Umar Abu al-hakam yang artinya Amr Bapak juru damai. Umat Islam mengganti nama itu manjadi Abu Jahal yang artinya Bapak kebodohan.

- Kaum kafir Quraisy meminta Abu Thalib paman pelindung Rasulullah, agar Rasulullah menghentikan dakwahnya. Namun kala Abu Thalib menyampaikan keinginan kaum kafir Quraisy tersebut Rasulullah bersabda; "wahai pamanku demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah agama Allah, hingga aku menang atau aku binasa karenanya."

- Kaum kafir Quraisy mengusulkan pada Muhammad agar permusuhan diantara mereka dihentikan. Caranya suatu saat kaum kafir Quraisy menganut Islam dan melaksanakan ajarannya. Disaat lain umat Islam menganut agama kaum kafir Quraisy dan melakukan penyembahan terhadap berhala.

Usul tersebut ditolak oleh Muhammad, karena menurut ajaran Islam mencampur adukkan akidah dan ibadah Islam dengan akidah dan ibadah bukan Islam termasuk perbuatan haram dan merupakan dosa besar. (terkait Q.S Al kafirun, 109: 1-6).

Menghadapi tantangan keras kaum kafir Quraisy, Muhammad bersabar, bertawakal dan berdo’a, beliau menyuruh 16 orang sahabatnya, termasuk Ustman bin Affan dan 4 orang wanita untuk berhijrah ke Habsyah (Ethiopia), karena raja Negus di negeri itu suka memberikan jaminan keamanan kepada orang-orang yang meminta perlindungan kepadanya. Peristiwa hijrah yang pertama ke Habsyah terjadi pada tahun 615 M.

Suatu saat, ke 16 orang yang hijrah ke Habsyah ini kembali ke Mekkah, karena mereka menduga Mekkah keadaannya sudah normal dengan masuk Islamnya seorang bangsawan Quraisy yang gagah berani yakni Umar bin Khatab. Namun dugaan mereka meleset, karena ternyata Abu Jahal, pimpinan kaum Quraisy memerintahkan agar setiap keluarga dari kabilah Quraisy meningkatkan tekanan dan siksaan terhadap anggota keluarganya yang masuk Islam.

Menghadapi situasi yang demikian, akhirnya Rasulullah meminta para sahabatnya, untuk yang kedua kalinya agar kembali hijrah ke Habsyah. Jumlah para sahabat yang berhijrah pada saat itu sebanyak 83 orang laki-laki dan 18 orang wanita, dibawah pimpinan Ja’far bin Abu Thalib. Di negeri Habasyah ini selain memperoleh jaminan keamanan dari Raja Negus, para sahabat juga memiliki kebebasan melaksanakan ibadah. (Baca: Adalah Ja'far Bin Abu Thalib, Pria yang Mirip Rasulullah)

Pada tahun ke 10 dari kenabian (619 M) Abu Thalib, paman Rasulullah SAW dan pelindungnya wafat dalam usia 87 tahun. Empat hari setelah itu istri tercintanya Khadijah juga wafat dalam usia 65 tahun. Dalam sejarah Islam tahun ini wafatnya Abu Thalib dan Khadijah disebut ‘Amul Huzni (tahun duka cita).

Wafatnya Abu Thalib sebagai pemimpin Bani Hasyim, menyebabkan Abu Lahab seorang kafir yang sangat keras dalam memusuhi Muhammad, menggantikan kedudukan Abu Thalib sebagai pemimpin. Semenjak itu Rasulullah tidak memperoleh perlindungan dari kaum kerabatnya yakni Bani Hasyim.

Allah SWT senantiasa melindungi Muhammad dari berbagai kesulitan. Tidak lama Bani Hasyim pimpinan Abu Lahab, Mut’im bin Adi pemimpin kaum Naufal menyatakan perlindungannya terhadap Nabi SAW. Bahkan menjelang peristiwa hijrah tahun 622 M, umat Islam Yatsrib telah bersumpah setia akan melindungi
Muhammad beserta para pengikutnya.

Sejarah Dakwah Rasulullah SAW periode Madinah

Sejarah Dakwah Rasulullah priode Madinah
Arti Hijrah dan Tujuan Rasulullah SAW dan umat Islam Berhijrah

Ada dua macam arti hijrah, Pertama, Hijrah berarti meninggalkan semua perbuatan yang dilarang dan dimurkai Allah SWT untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, yang disuruh Allah SWT dan di ridhoi-Nya. (Baca : Sejarah Dakwah Rasulullah SAW periode Mekkah)


Artinya hijrah dalam pengertian pertama ini wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam, Rasulullah bersabda :
 

"Orang yang berhijrah itu ialah orang yang meninggalkan segala apa yang dilarang Allah SWT. (H.R. Bukhari)
 
Arti kedua dari hijrah ialah berpindah dari suatu negeri kafir (non-Islam), karena di negeri umat Islam selalu mendapatkan tekanan, ancaman dan kekerasan sehingga tidak memiliki kebebasan dalam berdakwah dan beribadah. Kemudian umat Islam di Negeri kafir itu, berpindah ke negeri Islam agar memperoleh keamanan dan kebebasan dalam bertakwa dan beribadah.

Arti kedua dari hijrah ini pernah dipraktekan oleh Rasulullah SAW dan umat Islam, yakni berhijrah dari Mekah ke Yatsrib pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama Hijrah, bertepatan dengan tanggal 28 Juni 622 M.

Tujuan Hijrahnya Rasulullah dan umat Islam dari Mekkah (negeri kafir) ke Yatsrib (Negeri Islam) adalah :

 
- Menyelamatkan umat Islam dari tekanan, ancaman, dan kekerasan kaum kafir Quraisy.
- Agar memperoleh keamanan dan kebebasan dalam berdakwah serta beribadah, sehingga dapat meningkatkan usaha-usahanya dalam berjihad di jalan Allah SWT, untuk menegakkan dan meninggikan agama-Nya (Islam) (terkait Q.S An-Nahl, 16: 41-42).


Dakwah Rasulullah Periode Madinah           

Dakwah Rasulullah periode Madinah  berlangsung selama 10 tahun yakni dari semenjak tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama Hijrah sampi dengan wafatnya Rasulullah, tanggal 13 Rabiul Awl tahun ke 11 Hijrah.

Mengenai objek dakwah Rasulullah pada peiode Madinah adalah orang-orang yang sudah masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Ansar. Juga orang-orang yang masuk Islam seperti kaum Yahudi penduduk Madinah, para penduduk di luar kota Madinah yang termasuk bangsa Arab, dan yang tidak termasuk bangsa Arab.
        
Tujuan dakwah Rasulullah yang luhur dan cara penyampaiannya yang terpuji, menyebabkan umat manusia yang belum masuk Islam banyak yang masuk Islam dengan kemauan dan kesadaran sendiri.


Namun tidak sedikit pula orang kafir yang tidak bersedia masuk Islam, bahkan mereka berusaha menghalang-halangi orang lain masuk Islam dan juga berusaha melenyapkan agama Islam dan umatnya dari muka bumi. Mereka itu seperti kaum kafir Quraisy penduduk Mekah, dan sekutu-sekutu mereka.
        
Setelah ada izin dari Allah SWT untuk berperang, sebagaimana firmannya dalam surat Al-Hajj 22:39 dan Al-Baqarah, 2: 190, maka kemudian Rasulullah Saw dan para sahabatnya menyusun kekuatan untuk menghadapi perperangan dengan orang kafir yang tidak dapat dihindarkan lagi.
      
Perperangan-perperangan yang dilakukan oleh Rasulullah dan para pengikutnya itu tidaklah bertujuan untuk melakukan penjajahan atau meraih harta rampasan perang, tetapi untuk:


- Membela diri, kehormatan, dan harta
- Menjamin kelancaran dakwah, dan memberi kesempatan kepada mereka yang hendak menganutnya
- Untuk memelihara umat Islam agar tidak dihancurkan oleh bala tentara Persia dan Romawi.

Setelah Rasulullah dan para pengikutnya mampu membangun suatu Negara yang mardeka dan berdaulat, yang berpusat di Madinah, mereka berusaha menyiarkan dan memasyurkan agama Islam, bukan saja terhadap para penduduk jazirah Arabia, tetapi juga ke luar jazirah Arabia, maka bangsa Romawi dan Persia menjadi cemas dan khawatir kekuasaan mereka akan tersaingi.


Oleh karena itu bangsa Romawi dan bangsa Persia bertekad untuk menumpas dan menghancurkan umat Islam dan agamanya. Untuk menghadapi tekad bangsa Romawi dan Persia tersebut, Rasulullah dan pengikutnya tidak tinggal diam sehingga terjadi perperangan antara umat Islam dengan bangsa Romawi, yaitu pertama perang Mut'ah pada tahun 8 H, di dekat desa Mut’ah bagian utara jazirah Arabiah dan kedua perang Tabuk pada tahun 9 H di kota Tabuk, bagian utara jazirah Arabia. Sedangkan bangsa Persia selalu mengadakan penyerangan kepada wilayah kekuasaan umat Islam.

Perang lainnya yang dilakukan pada masa Rasulullah seperti :

1. Perang Badar Al-Kubra, terjadi pada tanggal 17 Rahmadan tahun 2 H di sebuah tempat dekat perigi Badar, yang letaknya antara Mekah dan Madinah. Perperangan ini terjadi antara Rasulullah dan para pengikutnya dengan kaum kafir Quraisy yang telah mengusir kaum Muslimin penduduk Mekah untuk pindah ke Madinah dengan meninggalkan rumah dan harta bendanya. Mereka masih tetap bertekat untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin di Madinah. Dalam perang Badar ini kaum Muslimin memperoleh kemenangan yang gialang gemilang.

2. Perang Uhud, terjadi pertengahan Sya’ban tahun 3
Hijriyah, pada perperangan kaum Muslimin mengalami kekalahan.

3. Perang Ahzab (Khandak), terjadi pada bulan Syawal tahun 5 Hijriyah, ahzab artinya golongan-golongan, yaitu gabungan kaum kafir Quraisy, kaum Yahudi, Bani Salim, Bani Asad, Gathfan, Bani Murrah, dan Bani Asyyja, sehingga berjumlah 10.000 lebih.

Pasukan ahzab ini menyerbu Madinah untuk menumpas Islam dan umat Islam. Atas inisiatif dari Salman Al-Farizi, untuk mempertahankan kota Madinah dibuat parit yang dalam dan lebar. Berkat inisiatif itu, kekompakan umat Islam dan pertolongan Allah SWT, dalam perang ini umat Islam memperoleh kemenangan.

Pada tahun keenam hijriyah Rasulullah dan para pengikutnya umat Islam penduduk Madinah yang berjumlah 1000 orang berangkat menuju Mekah untuk melakukian Umrah, agar kaum kafir Quraisy tidak menduga bahwa kedatangan kaum Muslimin ke Mekah itu untuk memerangi mereka maka jauh sebelum mendekati kota Mekah umat Islam sudah mengenakan pakaian Ihran, tidak membawa alat-lat perang, kecuali pedang dalam sarungnya, sekedar untuk menjaga diri di perjalanan. 


Rombongan kaum Muslimin tiba disuatu tempat yang bernama "Al-Hudaibiyah", yang letaknya beberapa kilometer dari kota Mekah, dengan maksud selain untuk beristirahat, juga melihat situasi.

Sebenarnya saat itu termasuk bulan yang sucikan oleh bangsa Arab sebelum Islam. Mereka dilarang melakukan perperangan didalamnya. Namun dalam kenyataanya, kaum kafir Quraisy telah menempatkan sejumlah bala tentaranya yang cukup besar di perbatasan kota Mekah, siap untuk melakukan perperangan.

Membaca situasi yang demikian, kemudian Rasulullah mengutus sahabat Usman bin Affan memasuki kota Mekah untuk menemui pimpinan kaum kafir Quraisy dan menjelaskan kepadanya, bahwa kedatangan mereka ke Mekah bukan untuk berperang, tetapi semata-mata untuk melakukan ibadah umrah.

Namun kaum kafir Quraisy bersikeras tidak mengizinkan kaum Muslimin memasuki kota Mekah, dengan alasan akan menjatuhkan wibawa kaum kafir Quraisy pada pandangan bangsa Arab. Sahabat  Usman bin Affan ditahan oleh kaum kafir Quraisy bahkan tersiar kabar bahwa beliau telah dibunuh.

Menyikapi kabar tersebut kaum Muslimin telah bersepakat mengadakan "sumpah setia" (bai'at), untuk berperang melawan kafir Quraisy, sampai meraih kemenangan, sumpah setia itu disebut “Baiatu Ridwan”.

Untung di saat genting seperti itu sahabat Utsman bin Affan muncul membawa berita akan diadakannya perundingan antara kaum kafir Quraisy dengan kaum Muslimin. Maka terjadilah perundingan antara delegasi kaum kafir Quraisy yang dipimpin oleh Suhail Ibnu Umar dan delegasi umat Islam dipimpin oleh Rasulullah.

Perundingan tersebut melahirkan kesepakatan antara dua belah pihak, dan melahirkan sebuah perjanjian, yang dikenal dalam sejarah sebagai perjannian Hudaibiyah (Sulhul Hudaibiyah) isi perjanjian tersebut adalah :

1) Selama 10 tahun diberlakukan gencatan senjata antara kaum kafir Quraisy penduduk Mekah dan umat Islam penduduk Madinah.
2) Orang Islam dan kaum Kafir Quraisy yang dating kepada kaum umat Islam, tanpa seizing walinya hendaklah ditolak oleh umat Islam.
3) Kaum Quraisy tidak menolak orang-orang Islam kembali dan bergabung dengan mereka.
4) Tiap kabilah yang ingin masuk dalam persekutuan dengan kaum Quraisy, atau dengan kaum Muslimin dibolehkan dan tidak akan mendapatkan rintangan.
5) Kaum Muslimin tidak jadi mengerjakan umrah saat itu, mereka kembali ke Madinah, dan boleh mengerjakan umrah di tahun berikutnya, dengan persyaratan:
- Kaum Muslimin memasuki kota Meka setelah penduduknya untuk sementara keluar dari kota Mekah.
- Kaum muslimin memasuki kota Mekah tidak boleh membawa senjata
- Kaum Muslimin tidak boleh berada di dalam kota Mekah tidak lebih dari tiga hari tiga malam.

Kaum kafir Quraisy mengetahui, bahwa perjanjian Hudaibiyah itu sangat menguntungkan kaum Muslimin. Umat Islam semangkin kuat, karena hampir seluruh semenanjung Arab, termasuk suku-suku bangsa Arab yang paling selatan telah menggabungkan diri kepada Islam.

Kaum kafir Quraisy merasa terpojok, dan mereka secara sepihak berniat membatalkan perjanjian Hudaibiyah itu, dengan cara menyerang bani Khuza’ah yang berada di bawah perlindungan Islam. Sejumlah orang Bani Khuza’ah mereka bunuh dan selebihnya mereka cerai-beraikan. Bani Khuza’ah segera mengadu kepada Rasulullah SAW dan mohon keadilan.

Mendapatkan pengaduan seperti itu kemudian Nabi Muhammad SAW dengan sepuluh ribu bala tentaranya berangkat menuju kota Mekah untuk membebaskan kota Meka dari para penguasa kafir dan zalim, yang telah melakukan pembunuhan secara kejam terhadap umat Islam dari Bani Khuza’ah.

Rasulullah sebenarnya tidak menginginkan terjadinya perperangan, yang sudah tentu akan menelan banyak korban jiwa. Untuk itu Rasulullah SAW dan bala tentaranya berkemah di pinggit kota Mekah dengan maksud agar kaum kafir Quraisy melihat sendiri kekuatan besar dari bala tentara kaum Muslimin.

Taktik Rasulullah seperti itu ternyata berhasil, sehingga dua orang pimpinan Quraisy yaitu Abbas (paman Rasulullah) dan Abu Sofyan (seorang bangsawan Quraisy yang lahir 567 M dan wafat tahun 652 M) datang menemui Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam.

Dengan masuk Islamnya kedua orang pimpinan kaum kafir Quraisy tersebut, Rasulullah dan bala tentaranya dapat memasuki kota Mekah dengan aman dan membebaskan kota itu dari pada penguasa kaum kafir Quraisy yang zalim. Pembebasan kota Mekah ini terjadi pada tahun 8 H secara damai tanpa adanya pertumpahan darah.


Dakwah Islamiah keluar dari Jazirah Arabia

Rasulullah menyerukan umat manusia di luar Jazirah Arabia agar memeluk agama Islam, dengan jalan mengirim utusan untuk menyampaikan surat dakwah Rasulullah kepada penguasa atau para pembesar mereka. Para penguasa atau para pembesar Negara yang dikirimi surat dakwah Rasulullah itu seperti :

1. Heraclius, Kaisar Romawi Timur
Yang menerima surat dakwah Rasulullah, melalui utusannya Dihija bin Khalifa. Heraclius tidak menerima seruan dakwah Rasulullah itu. Karena tidak mendapatkan persetujuan dari para pembesar Negara dan para pendeta. Namun surat dakwah itu dibalasnya dengan tutur kata sopan, disamping mengirimkan hadiah untuk Rasulullah.

2. Muqauqis, Gubernur Romawi di Mesir
Rasulullah SAW mengiri surat dakwah kepada Muqauqis melalui utusannya yang bernama hatib. Setelah surat dibaca Muqauqis belum bisa menerima seruan untuk masuk Islam, namun dia menyampaikan surat balasan kepada Rasulullah dan mengirim hadiah-hadiah berupa seorang budak wanita, kuda, keledai, dan pakaian-pakaian.

3. Syahinsyah, Kaisar Persia
Syahinsyah adalah penguasa yang lalim dan sombong, karena kesombongannya surat dakwah Rasulullah itu dirobeknya. Mengetahui surat dakwah itu dirobek-robek. Rasulullah menjelaskan bahwa Syahinsyah akan dibunuh oleh anaknya sendiri pada malam selasa 10 Jumadil Awal tahun ke 7 H. apa yang diucapakan Rasulullah ternyata sesuai dengan kenyataan. Syahinsyah dibunuh anaknya sendiri Asy-Syirwaih karena kelalimannya.

4. Kemudian surat dakwah Rasulullah dikirimkan pula kepada An-Najasyi (Raja Ethopia), Al-Munzir bin Sawi (Raja Bahrian), Hudzah bin Ali (Raja Yamamah), dan Al-Haris (Gubernur Romawi di Syam).


Diantara pengusa-penguasa tersebut yang menerima seruan dakwah Rasulullah hanyalah Al-Munzir bin Sawi penguasa Bahrian yang menyatakan masuk Islam dan mengajak para pembesar Negara dan raknyatnya agar masuk Islam.

Strategi Dakwah Rasulullah Periode Madinah


Pokok-pokok pikirannya dijadikan dakwah Rasulullah periode Madinah adalah :
1. Beradakwah dimulai dari diri sendiri, maksudnya sebelum mengajak orang lain meyakini kebenaran Islam dan mengamalkan ajarannya, maka terlebih dahulu orang yang berdakwah itu harus meyakini kebenaran Islam dan mengamalkan ajarannya.
2. Cara (metode) melaksanakan dakwah sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam Surat An-Nahl, 16 : 125
3. Berdakwah itu hukumnnya wajib bagi Rasulullah SAW dan umatnya. Dalil wajibnya : Al-Qur’an Surah Ali Imran, 3: 104, dan hadist Rasulullah SAW.

Usaha-usaha Rasulullah dalam mewujudkan masyarakat Islam seperti tersebut adalah :


a. Membangun Masjid

 
Mesjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah ialah Masjid Quba, yang berjarak 5 Km, sebelah barat daya Madinah. Masjid Quba ini dibangun pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijrah (20 September 622 M).

Setelah Rasulullah menetap di Madinah, pada setiap hari Sabtu sering mengunjungi Masjid Quba untuk shalat berjama’ah dan menyampaikan dakwah Islam. Fungsi atau peranan mesjid pada masa Rasulullah adalah sebagai berkut:


- Masjid sebagai sarana pembinaan umat Islam dibidang Akidah, ibadah dan ahklak.
- Masjid merupakan sarana ibadah, khususnya shalat lima waktu, shalat jum’at, shalat tarawih, shalat idul fitri, dan idul adha (lihat Quraisy Al Jinn, 72: 181).
- Masjid merupakan tempat belajar dan mengajar tentang agama Islam yang bersumber pada AlQur’an dan Hadist.
- Masjid sebagai tempat pertemuan untuk menjalin hubungan persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) demi mewujudkan persatuan.
- Menjadikan masjid sebagai sarana kegiatan sosial, misalnya sebagai tempat penampungan zakat, infak dan sedekah dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya terutama para fakir miskin dan anak-anak yatim terlantar.
- Menjadikan halaman masjid dengan memasang tenda, sebagai tempat pengobatan para penderita sakit, terutama para pejuang Islam yang menderita luka akibat perang melawan orang-orang kafir.


Sejarah mencatat adanya seorang perawat wanita terkenal pada masa Rasulullah yang bernama "Rafidah".

-  Rasulullah menjadikan masjid sebagai tempat bermusyawarah dengan para sahabatnya. Masalah-masalah yang dimusyawarahkan antara lain: Usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan, usaha-usaha untuk memajukan umat Islam, dan strategi peperangan melawan musuh-musuh Islam agar memperoleh kemenangan.

b. Mempersaudarakan antar kaum Muhajirin dan Ansar


Muhajirin adalah para sahabat Rasulullah SAW penduduk Mekah yang berhijrah ke Madinah. Ansar adalah para sahabat Roderick penduduk asli Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin.

Rasulullah SAW memberi contoh dengan mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya. Apa yang dicontoh oleh Rasulullah SAW di contoh oleh seluruh sahabatnya misalnya :

- Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW, pahlawan Islam yang berani bersaudara dengan Zaid bin Haritsah, mantan hamba sahaya, yang kemudian dijadikan anak angkat Rasulullah.
- Abu Bakar Ash-Shiddiq, bersaudara dengan Kharizah bin Zaid
- Umar bin Khatab bersaudara dengan Irban bin Malain Khazraji (Ansar).
- Utsman bin Affan bersaudara dengan Aus bin Tsabit.
- Abdurrahman bin Aur bersaudara dengan Sa’ad bin Rabi (Ansar).

Demikianlah seterusnya setiap orang Muhajirin dan orang Ansar, termasuk Muhajirin setelah hijrahnya Rasulullah, dipersaudarakan secara sepasang-sepasang, layaknya seperti saudara senasab.

Kaum Ansar dengan ikhlas memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin berupa tempat tinggal, sandang, pangan dan lain-lain yang diperlukan. Namun kaum Muhajiri juga tidak berpengku tangan, mereka berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah agar dapat hidup mandiri. Misalnya Abdurrahman bin Auf menjadi pedagang, Abu Bakar, Umar bin Khatab dan Ali bin Abu Thalib menjadi petanu kurma.

Kaum Muhajirin yng belum mempunyai tempat tinggal dan mata pencaharian oleh Rasulullah ditempatkan dibagian Masjid Nabawi yang beratap yang disebut Suffa dan mereka dinamakan Ahlus Suffa (Penghuni Suffa).

Kebutuhan-kebutuhan mereka dicukupi oleh kaum Muhajirin dan ansar secara bergotong royong. Kegiatan ahlus Suffa itu antara lain mempelajari dan menghafal Al-Qur’an dan Hadist, kemudian diajarkannya kepada yang lain. Sedangkan apabila terjadi perang antara kaum Muslimin dengan kaum Kafir, mereka ikut berperang.

c. Perjanjian Bantu Membantu antara Umat Islam dengan Umat Non-Islam

Pada waktu Rasulullah menetap di Madinah, penduduknya terdiri dari tiga golongan, yaitu umat Islam, umat Yahudi (bani Qainuqa, bani Nazir, dan Bani Quraizah), dan orang-orang Arab yang belum masuk Islam.
Rasulullah membuat perjanjian dengan penduduk Madinah non Islam dan tertuang dalam piagam Madinah. Isi piagam Madinah itu antara lain:

1. Setiap golongan dari ketiga golongan penduduk Madinah memiliki hak pribadi, keagamaan, dan politik. Sehubungan dengan itu setiap golongan penduduk Madinah berhak menjatuhkan hukuman kepada orang yang membuat kerusakan dan memberi keamanan kepada orang-orang yang mematuhi peraturan.

2. Setiap individu penduduk Madinah mendapat jaminan kebebasan beragama.

3. Seluruh penduduk Madinah yang terdiri dari kaum Muslimin, kaum Yahudi, dan orang Arab yang belum masuk Islam sesame mereka hendaknya saling membantu dalam bidang Moril dan materil. Apabila Madinah diserang musuh, maka seluruh penduduk Madinah harus membantu dalam mempertahankan kota Madinah.

4. Rasulullah adalah pemimpin seluruh penduduk Madinah, segala perkara dan perselisihan besar yang terjadi di Madinah harus diajukan kepada Rasulullah untuk diadili sebagaimana mestinya.

d. Meletakkan dasar-dasar Politik, Ekonomi, dan Sosial Islami demi Terwujudnya Masyarakat Madani.

Islam tidak hanya mengajarkankan bidang akidah dan ibadah, tetapi mengajarkan juga bidang politik, ekonomi dan sosial, yang kesemuanya bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist.

Pada masa Rasulullah, penduduk Madinah mayoritas sudah beragama Islam, sehingga masyarakat Islam sudah terbentuk, maka adanya pemerintahan Islam merupakan keharusan. Rasulullah selain sebagai seorang nabi dan rasul, juga tampil sebagai seorang Kepala Negara (Khalifah).

Sebagai kepala Negara, Rasulullah telah meletakkan dasar bagi sistem politik Islam, yakni musyawarah. Melalui musyawarah, umat Islam dapat mengangkat wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintahan, serta membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan syarat, peraturan itu tidak menyimpang dari tuntunan Al-Qur’an dan Hadist (dalil Naqlinya Q.S An-Nisa’ 4: 59).

Dalam bidang ekonomi Rasulullah telah meletakkan dasar bahwa sistem ekonomi Islam itu harus dapat menjamin terwujudnya keadilan sosial. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, Rasulullah telah meletakkan dasar antara lain adanya persamaan derajat diantara semua individu, semua golongan, dan semua bangsa.


Sesuatu yang membedakan derajat manusia ialah amal salehnya atau hidupnya yang bermanfaat (terkait Q.S. Al-Hujuraat, 49: 13).

Sejarah Islam Menetapkan Hijriyah, Kalender Bagi Umat Muslim

Sejarah Islam Menetapkan Hijriyah, Kalender Bagi Umat Muslim
Sejak masa lampau, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab Jahiliyah telah memiliki peradaban. Mereka memiliki sistem sosial, budaya, perilaku dalam masyarakat di sana kala itu yang berkaitan dengan akhlaq. Ada akhlaq yang baik tetapi banyak pula yang buruk.

Dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesunguhnya Aku diutus ke muka bumi ini, untuk menyempurnakan Akhlaq yang mulia." (HR. Bukhari)

Dari hadits tersebut, kita mengetahui bahwa sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasulullah, orang Arab Jahiliyah itu sudah mengenal yang disebut dengan Akhlaq. Jadi, kita tidak boleh menafikan bahwa orang Arab Jahiliyah pun mempunyai akhlaq, dan jangan pula berpikir bahwa akhlaq itu hanya ada dalam agama Islam. Lalu fungsi kedatangan Islam untuk apa? Yaitu untuk menyempurnakannya. Artinya, yang lebih sempurna adalah akhlaq yang dibawa oleh Islam.


Tahun Hijriyah dan Latar Belakangnya

Tidak berbeda pula bahwa sejak masa lampau, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab Jahiliyah itu telah mengenal dan menggunakan penanggalan, Disebut kalender Qamariyah yang penetapannya diatur berdasarkan fase-fase peredaran bulan. Mereka sepakat tanggal 1 ditandai dengan kehadiran hilal. Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana yang kita kenal.

Mereka mengenal bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, mereka juga kenal bulan Rajab, Ramadhan, Syawal, Safar, dan bulan-bulan lainnya. Bahkan mereka juga menetapkan adanya 4 bulan suci: Dzulqa’dah, Dzulhijah, Shafar Awal (Muharam), dan Rajab. Selama 4 bulan suci ini, mereka sama sekali tidak boleh melakukan peperangan.

Kalender Hijriyah adalah penanggalan rabani yang menjadi acuan dalam hukum-hukum Islam. Seperti haji, puasa, haul zakat, 'idah, thalaq dan lain sebagainya. Dengan menjadikan hilal sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah 189;

.
"Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah: "Hilal itu adalah tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi haji."(QS. Al-Baqarah: 189)


Sebelum penanggalan hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun.

Sebagai contoh, tahun renovasi Ka'bah misalnya, karena pada tahun tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat banjir. Tahun fijar, karena saat itu terjadi perang fijar. Tahun Fiil (gajah), karena saat itu terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah. Oleh karena itu kita mengenal tahun kelahiran Rasulullah dengan istilah tahun Fiil (tahun gajah). Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai patokan, misalnya 7 tahun sepeninggal Ka'ab bin Luai."

Sistem penanggalan seperti ini terus berlangsung sampai pada zaman Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar. Kala itu, para sahabat belum memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan untuk menamakan tahun adalah peristiwa besar yang terjadi di masa itu, seperti :

Tahun izin (sanatul idzni), karena ketika itu kaum muslimin diizinkan Allah untuk berhijrah ke Madinah. Tahun perintah (sanatul amri), karena mereka mendapat perintah untuk memerangi orang musyrik. Tahun tamhish, artinya ampunan dosa. Di tahun ini Allah menurunkan firmanNya, ayat 141 surat Ali Imran, yang menjelaskan bahwa Allah mengampuni kesalahan para sahabat ketika Perang Uhud. Tahun zilzal (ujian berat). Ketika itu, kaum muslimin menghadapi berbagai cobaan ekonomi, keamanan, krisis pangan, karena perang khandaq dan seterusnya.


Gagasan dari Sepucuk Surat

Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa Al-Asy-‘Ari radhiyahullahu’anhu; sebagai Gubernur Basrah kala itu, dari Khalifah Umar bin Khatab. Melalui sepucuk surat, Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Khalifah,

"Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal."


Dalam riwayat lain disebutkan,
"Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak mengetahui apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirimkan pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.


Awal Tahun Hijriyah Ditetapkan

Dalam musyawarah Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.

Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diangkatnya Rasulullah sebagai utusan Alllah. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander).

Sementara yang lain mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Rasulullah ke kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Hati Umar bin Khatab ternyata condong kepada usulan ke dua ini.


"Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.” kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu mengutarakan alasan.

Akhirnya para sahabat pun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah Ta’ala,

"Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya." (QS. At-Taubah:108)
Para sahabat memahami makna "sejak hari pertama" dalam ayat, adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi, sehingga pantaslah moment itu dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.

Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahillah dalam Fathul Bari mengatakan, "Pelajaran dari As-Suhaili: para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah ta’ala dalam Surat At-Taubah ayat 108 tersebut.

Sudah suatu hal yang dimaklumi; maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tidak menunjuk pada hari tertentu. Tampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat.

Yaitu hari pertama kemuliaan Islam. Hari pertama Rasulullah bisa menyembah Rab-nya dengan perasaan aman. Hari pertama dibangunnya masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba. Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.

Dari keputusan para sahabat tersebut, dapat dipahami maksud kata "sejak hari pertama" (dalam ayat) adalah hari pertama dimulainya Penanggalan Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah Ta’ala: min awwali yaumin (sejak hari pertama) adalah, hari pertama masuknya Rasulullah dan para sahabatnya ke kota Madinah. Allahua’lam. (Fathul Bari, 7/335)

Sebenarnya ada beberapa alternatif lain mengenai acuan tahun, yaitu tahun kelahiran atau wafatnya Rasulullah. Namun mengapa dua hal ini tidak dijadikan pilihan? Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan alasannya,”

"Karena tahun kelahiran dan tahun diutusnya beliau menjadi Nabi, belum diketahui secara pasti. Adapun tahun wafat beliau, para sahabat tidak memilihnya karena akan menyebabkan kesedihan manakala teringat tahun itu. Oleh karena itu ditetapkan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.” (Fathul Bari, 7/335)

Alasan lain mengapa tidak menjadikan tahun kelahiran Rasulullah sebagai acuan; karena dalam hal tersebut terdapat unsur menyerupai kalender kaum Nasrani. Yang mana mereka menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan.


Dan tidak menjadikan tahun wafatnya Rasulullah sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabuh dengan orang Persia (majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan penanggalan.


Ijma' dalam Penentuan Bulan

Musyawarah dilanjutkan untuk menentukan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan. Sahabat Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram.

Utsman bin Affan mengusulkan agar bulan pertama dalam kalender Hijriah adalah Muharam dengan beberapa alasan:

Pertama, Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa masa silam. Kedua, di bulan Muharam, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke baitullah. Ketiga, adalah awal munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua kalinya.

Umar bin Khatab mengatakan, "Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji.”

Akhirnya para sahabat pun menyepakati. Alasan lain dipilihnya Bulan Muharam sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah,

"Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan Muharam. Dimana bai'at terjadi dipertengahan bulan Dzulhijah (bulan sebelum Muharam). Dari peristiwa bai'at itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at adalah hilal bulan muharam, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal bulan Muharam. Karena inilah muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan muharam." (Fathul Bari, 7/335)
Dari hasil musyawarah tersebut, ditentukanlah sistem penanggalan Islam, yang berlaku hingga hari ini. Dengan menjadikan peristiwa Hijrah sebagai acuan tahun 1 Hijriyah dan bulan Muharam sebagai awal bulan. Oleh karena itu kalender ini dikenal dengan Kalender Hijriyah.

Terdapat beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari kisah penanggalan hijriyah di atas. Kalender Hijriyah ditetapkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat. Dan umat Muslim tahu bahwa ijma' merupakan dalil qot'i yang diakui dalam Islam.

Para sahabat menjadikan Kalender Hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam segala urusan kehidupan mereka; baik urusan ibadah maupun dunia. Sehingga memisahkan penggunaan Kalender Hijriyah, antara urusan ibadah dan urusan dunia, adalah tindakan yang tidak menyepakati konsesus para sahabat Rasulullah.

Seyogyanya bagi seorang muslim, menjadikan kalender Hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi bagian dari Syi’ar Islam, yang khas dan membedakannya dengan agama lainnya.
jumrahonline

I like to write to you, ya Rasulullah



Dear beloved Prophet,

Today at school, the teacher asked us to draw you.

I like to draw, but I never saw you..
So I close my eyes.

And I saw a tear in the eye of my mother 

while reading your story...

I saw my father praying all night...
I saw my elder sister smiling...
even though she just got insulted in the street...
I saw my best friend asking me for forgiveness, 

even though I was to blame...

I want to draw all these images.

Here, people want to see everything... 

to watch everything...
 

But I closed my I eyes...
I saw you coming towards me
I saw you coming towards us
With the most perfect smile

How could I draw the perfect smile?
 

*

The teacher did not let me speak 

when I wanted to explain to her...
I can't blame her.
So probably never learnt to love someone, 

she doesn't see...

But me, I love you without seeing you.

I'm not good to drawing, but I like to write.
I like to write to you, ya Rasulullah.

If you could only came back amongst us 

for a few hours, a few seconds, a few moments...
She could understand eventually...



Arti Masing Masing Nama Bulan Hijriyah

Arti Masing Masing Nama Bulan Hijriyah
Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender masehi (kalender biasa) yang menggunakan peredaran matahari.

Penetapan Kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah.


Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29 – 30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa,” (QS : At Taubah(9):36).

Sebelumnya, orang arab pra-kerasulan Rasulullah telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah adalah di tahun gajah.

Abu Musa Al-Asyรกri sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu.

Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah dari Makkah ke Yatstrib (Madinah).

Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah.

Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku di masa itu di bangsa Arab.

Orang Arab memberi nama bulan-bulan mereka dengan melihat keadaan alam dan masyarakat pada masa-masa tertentu sepanjang tahun. Misalnya bulan Ramadhan, dinamai demikian karena pada bulan Ramadhan waktu itu udara sangat panas seperti membakar kulit rasanya.


Berikut adalah arti nama-nama bulan dalam Islam:

MUHARRAM, artinya: yang diharamkan atau yang menjadi pantangan. Penamaan Muharram, sebab pada bulan itu dilarang menumpahkan darah atau berperang. Larangan tesebut berlaku sampai masa awal Islam.

SHAFAR, artinya: kosong. Penamaan Shafar, karena pada bulan itu semua orang laki-laki Arab dahulu pergi meninggalkan rumah untuk merantau, berniaga dan berperang, sehingga pemukiman mereka kosong dari orang laki-laki.

RABI’ULAWAL, artinya: berasal dari kata rabi’ (menetap) dan awal (pertama). Maksudnya masa kembalinya kaum laki-laki yang telah meninqgalkan rumah atau merantau. Jadi awal menetapnya kaum laki-laki di rumah. Pada bulan ini banyak peristiwa bersejarah bagi umat Islam, antara lain: Nabi Muhammad saw lahir, diangkat menjadi Rasul, melakukan hijrah, dan wafat pada bulan ini juga.

RABIU’ULAKHIR, artinya: masa menetapnya kaum laki-laki untuk terakhir atau penghabisan.

JUMADILAWAL nama bulan kelima. Berasal dari kata jumadi (kering) dan awal (pertama). Penamaan Jumadil Awal, karena bulan ini merupakan awal musim kemarau, di mana mulai terjadi kekeringan.

JUMADILAKHIR, artinya: musim kemarau yang penghabisan.

RAJAB, artinya: mulia. Penamaan Rajab, karena bangsa Arab tempo dulu sangat memuliakan bulan ini, antara lain dengan melarang berperang.

SYA’BAN, artinya: berkelompok. Penamaan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan ini lazimnya berkelompok mencari nafkah. Peristiwa penting bagi umat Islam yang terjadi pada bulan ini adalah perpindahan kiblat dari Baitul Muqaddas ke Ka’bah (Baitullah).

RAMADHAN, artinya: sangat panas. Bulan Ramadhan merupakan satu-satunya bulan yang tersebut dalam Al-Quran, Satu bulan yang memiliki keutamaan, kesucian, dan aneka keistimewaan. Hal itu dikarenakan peristiwa-peristiwa penting seperti: Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran pertama kali, ada malam Lailatul Qadar, yakni malam yang sangat tinggi nilainya, karena para malaikat turun untuk memberkati orang-orang beriman yang sedang beribadah.

Bulan ini ditetapkan sebagai waktu ibadah puasa wajib, pada bulan ini kaurn muslimin dapat rnenaklukan kaum musyrik dalarn perang Badar Kubra dan pada bulan ini juga Rasulullah berhasil mengambil alih kota Mekah dan mengakhiri penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum musyrik.

SYAWWAL, artinya: kebahagiaan. Maksudnya kembalinya manusia ke dalam fitrah (kesucian) karena usai menunaikan ibadah puasa dan membayar zakat serta saling bermaaf-maafan. Itulah yang mernbahagiakan.

DZULQAIDAH, berasal dari kata dzul (pemilik) dan qa’dah (duduk). Penamaan Dzulqaidah, karena bulan itu merupakan waktu istirahat bagi kaum laki-laki Arab dahulu. Mereka menikmatmnya dengan duduk-duduk di rumah.

DZULHIJJAH artinya: yang menunaikan haji. Penamaan Dzulhijjah, sebab pada bulan ini umat Islam sejak Nabi Adam as. menunaikan ibadah haji.

jumrahonline

Masjid Al Jum’ah, Dibangun dari Pecahan Bebatuan

Masjid Al Jumu’ah
Masjid Al Jum’ah, dibangun dari pecahan bebatuan
Awal dibangunnya masjid ini menggunakan pecahan bebatuan. Bangunan masjid ini kecil, bahkan tidak mampu menampung lebih dari 70 jamaah.


Dibangun masjid ini di saat pertama Rasulullah melakukan shalat Jum’at di sana. Ketika Rasulullah tiba di Quba’ pada 4 Muharram 1 Hijriyah (16 Juli 622 M), beliau tinggal disana kurang lebih hingga Jum’at. Pada saat beliau melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib/Madinah, waktu shalat Jum’at telah masuk, maka beliau mengerjakan shalat di tempat tersebut.

Pembangunan Masjid Al-Jum’ah ini diulang beberapa kali hingga tahun 1409 H. Raja Fahd bin Abdul Aziz memerintahkan perombakan dan perluasan kemudian melengkapinya dengan beberapa fasilitas pendukung, seperti asrama untuk imam dan muadzin, perpustakaan, madrasah menghafal Alquran, mushala untuk wanita, tempat wudhu, dan toilet.

Saat ini Masjid Al-Jum’ah mampu menampung 650 jamaah, masjid ini memiliki menara tinggi yang sangat indah dan kubah utama tepat di atas area shalat bagian tengah, ditambah dengan empat kubah kecil.

Kisah Pemberian Nama Masjid Al Jum'ah
Di dalam suatu riwayat, Ibnu Sirin menyebut bahwa suatu hari sebelum sampainya Rasulullah SAW di Madinah-ketika  berhijrah dari Mekkah ke Madinah dan sebelum turunnya QS. Al-Jum'ah (62), penduduk Madinah berkumpul disana.

Di antara mereka, yakni salah seorang dari kaum Anshar, mengajukan persoalan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani memiliki hari-hari tertentu yang mereka manfaatkan untuk berkumpul. Umat Yahudi dengan hari Sabbat (Sabtu)-nya dan umat Nasrani dengan hari Ahad (Minggu)-nya. Oleh karena itu, umat Islam menjadikan hari 'Arubah sebagai hari yang dimanfaatkan untuk berkumpul dan beribadah kepada Allah Ta'ala dan mensyukuri segenap nikmat-Nya.

Di dalam pertemuan yang pertama kali itu berlangsung di rumah As'ad ibn Zurrah, mereka mengubah nama al-'Arubah dengan nama yang baru, yaitu Al-Jum'ah (Jum’at). Untuk kepentingan pertemuan hari itu As'ad bin Zurrah, sebagai tuan rumah, menyembelih seekor kambing atau domba.

Menurut riwayat lain, sebagaimana disebutkan di dalam Kitab Lisanul 'Arab, orang yang pertama kali menamakan hari  al-'Arubah tersebut dengan al-Jum'ah adalah Ka'ab bin Lu'ai.


Kemudian dengan berbagai alasan-sebagaimana yang tercantum di dalam beberapa hadits yang di antaranya diriwayatkan oleh Muslim, Malik, dan Abu Dawud, hari Jum’at, di dalam komunitas Muslim, dikenal sebagai suatu hari yang paling mulia di antara hari-hari yang lain.

Masjid Jum'ah terletak di barat daya Madinah, di dekat Wadi Ranuna', dengan jarak 700 meter utara Masjid Quba' dan 6 kilometer dari Masjid Nabawi.
 
jumrahonline

Masjid Qiblatain, Satu Shalat dengan Dua Kiblat

Masjid Qiblatain, Satu Shalat dengan Dua Kiblat
Masjid Qiblatain merekam sejarah tentang arah salat. Semula masjid ini bernama Masjid Bani Salamah.

Pada permulaan Islam, Rasulullah SAW dan umat Islam melakukan shalat dengan menghadap kiblat (arah Baitul Maqdis di Yerusalem. Namun, pada tahun ke 2 Hijriyah di bulan Rajab, saat RasulullAh SAW sedang melaksanakan shalat Dhuhur di masjid Bani Salamah tersebut, turunlah wahyu surat Al Baqarah (2) ayat 144.


Dalam shalatnya semula Rasulullah menghadap ke arah Masjidil Aqsha (ke arah Utara) tetapi setelah turun ayat tersebut di atas, beliau menghentikan sementara, kemudian meneruskan shalat dengan menghadap ke Masjidil Haram (ke arah selatan). Dari peristiwa tersebut maka Masjid ini diberi nama masjid Qiblatain yang berarti Masjid berkiblat dua.

Dalam beberapa waktu, bangunan masjid ini sempat memiliki dua arah mihrab yang menonjol, yakni mengarah ke Masjidil Haram di Mekah dan Masjidil Aqsha di Palestina yang umumnya digunakan imam shalat. 


Setelah renovasi, masjid ini fokus satu mihrab yang menghadap Ka’bah di Mekah dan meminimalisir mihrab yang menghadap ke Yerusalem, Palestina.

Ruang mihrab masjid ini mengadopsi geometri ortogonal kaku dan simetri yang ditekankan dengan menggunakan menara kembar dan kubah kembar. Kubah utama menunjukkan arah kiblat yang benar dan kubah kedua hanya dijadikan sebagai pengingat sejarah.

Lokasi Masjid Qiblatain terletak di Jalan Khalid bin Walid, Jalan menuju kampus Universitas Madinah, dekat Istana Raja ke jurusan Wadi al-Aqiq (4,3 Km dari Masjid Nabawi melalui jalan raya).

jumrahonline

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...