Benarkah jembatan Shirathal Mustaqim seperti rambut dibelah tujuh? Jembatan ini merupakan jembatan yang harus dilalui siapa pun tanpa terkecuali pada waktu hari kiamat tiba. Jembatan ini disebut-sebut sebagai penghubung antara neraka dan surga. Dan menurut cerita yang beredar, jembatan ini seperti rambut yang dibelah tujuh.
Adapun cerita ini berkembang karena penafsiran dari Surah Al Fatihah yang di dalamnya disebut kata "Shirathal Mustaqim". Beberapa ulama meyakini, arti "jalan yang lurus" adalah jembatan yang lurus dan panjang. Wallahualam. Dan tidak ada dalil yang shahih yang menyatakan bahwa Shirath seperti rambut yang dibelah tujuh.
Dalam riwayat ditemukan bahwa nama jembatan ini adalah jembatan Shirath yang terbentang diatas neraka menuju ke surga. Semua manusia akan melewatinya sesuai dengan amalan mereka. Ada yang jatuh ke neraka, ada yang melewatinya dengan cepat dan ada yang melewatinya dengan lambat.
Dalam suatu riwayat mengatakan, bahwa adanya suatu jembatan diatas neraka Jahanam adalah hadist yang artinya berbunyi: "Maka dibuatlah As Shirath diatas Jahanam," Hadist Riwayat Al Bukhori dan Muslim
Diriwayatkan pula bahwa jembatan ini lebih lembut dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Seperti ucapan Abu Sa’id Al Hudri “Sampai kepada ku bahwa jembatan ini (As Shirath) lebih lembut dari rambut dan lebih tajam dari pedang” hadist riwayat Imam Muslim.
Melewati jembatan As Shirath merupakan salah satu peristiwa dasyat yang akan dialami oleh manusia yang telah mengucapkan ikrar syahadat tauhid. Menyebrangi jembatan yang terbentang di dua punggun Neraka Jahanam ini tidak hanya dialami oleh umat Islam dari kalangan Nabi Muhammad SAW. Melainkan juga oleh umat beriman dari para Nabi sebelumnya, baik mereka yang imannya sejati, maupun mereka yang suka berbuat maksiat dan kaum munafik.
Menurut sebagian ahli tafsir, peristiwa menyebrangi jembatan diatas neraka, telah diisyaratkan Allah dalam Al-Qur’an.
“Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.” (Qs Maryam/19: 71-72).
Lalu bagaimanakah bentuk jembatan Shirath yang nantinya akan kita lalui? Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW menggambarkan keadaan jembatan As Shirath. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Licin lagi menggelincirkan, diatasnya terdapat besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, Ia bagikan pohon berduri di Nejd, dikenal dengan pohon Sa’dan. Dan dibentangkanlah jembatan Jahanam. Akulah orang pertama yang melewatinya. Doa para Rasul pada saat itu, “Ya Allah Selamatkan lah, selamatkanlah,”. Pada Shirath itu juga terdapat pengait-pengait seperti duri pohon Sa’dan. Hanya saja tidak ada yang mengetahui ukuran besar kecuali Allah. Maka Ia mengait manusia, sesuai dengan amalan mereka,” (HR. Al-Bukhari).
Jembatan Shirath tersebut amat licin, sehingga sangat mengkuatirkan bagi siapa saja yang melewatinya. Dimana kita mungkin saja terpeleset dan terperosok jatuh. Shirath tersebut juga mampu menggelincirikan orang-orang yang berjalan diatasnya. Para ulama telah menerangkan bahwa maksud dari kata menggelincirkan, yaitu jembatan tersebut bergerak ke kanan dan ke kiri, sehingga membuat orang yang melewatinya takut akan tergelincir dan tersungkur jatuh.
Shirath tersebut memiliki besi pengait yang besar, penuh dengan duri dan dibagian ujungnya bengkok. Ini menunjukan siapa yang terkena besi pengait ini tidak akan lepas dari cengkramannya. Terpeleset atau tidak, tergelincir atau tidak dan tersambar oleh pengait besi atau tidak semua itu ditentukan oleh amal ibadah dan keimanan masing-masing.
Shirat ini terbentang di neraka Jahanam sehingga barang siapa yang terpeleset dan tergelincir atau terkena sambaran besi pengait maka Ia akan jatuh ke dalam Neraka Jahanam. Shirath tersebut sangat halus sehingga akan sulit melewatkan kaki di atasnya. Shirath juga sangat tajam sehingga bisa membelah orang yang melewatinya.
Sekalipun Shirath ini halus dan tajam manusia tetap dapat melewatinya. Karena Allah SWT maha kuasa untuk menjadikan manusia mempu berjalan diatas apapun. Kesulitan untuk melewati Shirath karena kehalusannya atau terluka karena ketajamannya, semua itu tergantung pada kualitas keimanan setiap orang yang melewatinya.
Setelah kita mengetahui bagaimana bentuk Shirath dalam hadist-hadist shahih, kita akan mengetahui pula bagaimana keadaan manusia saat melewati Shirat tersebut. Rasulullah SAW bersabda dalam (Shahih, HR. Muslim) artinya:
"Lalu diutuslah amanah dan rahim (tali persaudaraan) keduanya berdiri di samping kiri-kanan shirath tersebut. Orang yang pertama lewat seperti kilat." Aku bertanya: "Dengan bapak dan ibuku (aku korbankan) demi engkau. Adakah sesuatu seperti kilat?" Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Tidakkah kalian pernah melihat kilat bagaimana ia lewat dalam sekejap mata? Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, kemudian seperti burung dan seperti kuda yang berlari kencang."
Akan ada manusia yang menyebrangi jembatan dengan selamat dan ada pula yang terluka karena sabetan duri-duri yang mencabik-cabik tubuhnya. Lalu ada pula mereka yang gagal menyebranginya hingga ujung, mereka terpeleset, tergelincir hingga terjatuh dan terjerembab dengan wajahnya ke nereka yang menyala-nyala di bawah jembatan. Lalu bagaimana seseorang menyebranginya dengan selamat?
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa saat peristiwa menegangkan itu sedang berlangsung, para Nabi dan malaikat sibuk mendoakan bagi orang-orang berimana. Mereka berdoa yang artinya, “Ya Rabbi selamatkanlah, Ya Rabbi selamatkanlah”. Selanjutnya Allah akan meberikan cahaya bagi orang yang beriman dan bertaqwa. Allah telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an yang artinya artinya :
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu, dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman yang bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS.At-Tahrim:8)
Dan pada saat itulah, setiap orang tidak akan ingat pada orang lainnya, betapa sulitnya bagi kita untuk menyeberang di atasnya. Tetapi Allah maha perkasa sekaligus maha bijaksana, Allah akan memberikan bekal bagi orang-orang beriman dan bertaqwa untuk sangggup melintas di jembatan tersebut.
Sungguh pemandangan yang pastinya sangat mendebarkan. Pantaslah jika Rasulullah menyatakan, bahwa jika saat menyeberangi jembatan di atas neraka Jahanam ini sedang berlangsung, seseorang tidak akan ingat orang lainnya sebab setiap orang sibuk memikirkan keselamatannya masing-masing.
jumrahonline
Adalah Ja'far bin Abi Thalib, Pria yang Mirip Rasulullah
Ja’far Bin Abi Thalib merupakan satu diantara lima sahabat Rasulullah SAW yang memiliki kemiripan wajah dengan Rasulullah. Namun diantara kelimanya Ja’far tercatat paling mirip dengan Rasulullah. Hingga diriwayatkan, jika dilihat dari belakang, sulit membedakan antara Ja’far dan Rasulullah. Tidak hanya tampilan fisik, karakter Ja’far juga mirip dengan Rasulullah.
Di riwayatkan dari Muhammad bin Usamah bin Zaib bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepada Ja’far, "Bentuk wajahmu serupa dengan wajahku, dan akhlakmu serupa dengan akhlakku karena kamu berasal dariku dan merupakan keturunanku."
Karena kemiripan akhlak dan karakternya inilah Ja’far bin Abi thalib mudah menerima Islam saat diterangkan dengan sahabat yakni Abu Bakar Ash Shiddiq. Ia tercatat menjadi orang ke-31 yang memeluk Islam.
Bagaimanakah perjalanan seorang Ja'far bin Abi Thalib dan apa sajakah pengaruh beliau dalam agama Islam?
Ja’far yang adalah sepupu Rasulullah ini langsung menyatakan keislamannya begitu mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah SWT. Putra Abu Thalib ini kemudian menyampaikan keislamannya kepada Asma bin Umais. Ja’far pun lalu mengajak istrinya untuk kemudian masuk Islam. Ia begitu yakin bahwa mengikuti ajaran Islam akan membawanya pada kebaikan dunia dan akhirat.
Kelembutan serta kecerdasan seorang Ja'far bin Abi Thalib berhasil mengantarkan istrinya Asma bin Umais ke jalan yang hidayah, hingga nanti disepanjang jalan hidupnya, keduanya bersama-sama mengarungi pahit manis sebagai seorang muslim yang bertakwa.
Meski kebahagiaan Islam telah menyelimuti hatinya, namun kebahagian kakak Ali Bin Abi Thalib ini belum utuh. Sebab sang ayah yang sangat dicintainya, Abu Thalib enggan mengikuti kebenaran yang dibawa keponakannya, Muhammad. Padahal Ia selalu dibarisan terdepan membela Rasulullah dari kedengkian kaum Quraisy. Hanya doalah yang bisa dipanjatkan Ja’far bin Abi Thalib agar ayah mau membuka hatinya menerima hidayah Islam.
Maka ketika Islam semakin menyebar di Kota Mekah kaum Quraisy semakin marah dan tidak terima. Mereka bersekongkol membuat banyak cara untuk menjatuhkan Islam serta melemahkan iman kaum Muslimin. Maka ketika Quraisy tidak bisa menghalangi dakwah Rasulullah lantaran mendapatkan pembelaan dari keluarga besarnya, mereka pun mulai melampiaskan amarah dengan menyiksa kaum miskin dan lemah.
Tapi siksaan demi siksaan yang diterima kaum muslimin justru membuat iman mereka semakin kokoh dan kebal. Demikia kejam siksaan kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin, hingga keinginan melawan semakin besar, termasuk Ja’far Bin Abi Thalib. Ia begitu kesal dengan perlakuan kaumnya tapi Ia begitu tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Rasulullah SAW melarang kaum Muslimin untuk melawan dan hanya meminta agar bersabar.
Ja'far Memimpin Hijrah ke Habasyah
Disaat kekejaman kaum Quraisy memuncak Rasulullah SAW meminta agar kaum muslimin hijrah ke negeri Habasyah, negeri yang dipimpin Raja Najashi, seorang Raja Nasrani yang adil dan tidak pernah berbuat dzalim.
Rasulullah memilih Ja'far Bin Abi Thalib memimpin kaum muslimin hijrah menyelamatkan akidahnya ke negeri Habasyah. Rasulullah SAW begitu mengenal Ja'far seperti mengenal dirinya sendiri. Ja'far diplih karena memiliki kecerdasan, keberanian sekaligus ketenangan semuanya itu semakin didukung karena Ia memiliki kemiripan dengan Rasulullah. Sehingga menjadi pelipur lara bagi kaum muslimin bila jauh dari nabi mereka.
Benar saja, di negeri Habasyah muslimin bisa hidup nyaman tanpa harus terganggu saat beribadah. Namun kabar hijrahnya 100 kaum muslimin ke negeri Habasyah membuat kaum musrik Quraisy makin tidak suka. Mereka tidak tenang, pengikut Rasulullah beribadah dengan nyaman disana. Mereka kemudian berencana untuk memulangkan kaum muslimin ke Mekkah. Mereka mengutus Amar Bin Ash, pemuda Quraisy yang dikenal paling piawai berdiplomasi dan dekat dengan Raja Najashi
Sambil membawa hadiah dari kaum Quraisy untuk dipersembahkan kepada Raja Habasyah, Amr Bin Ash begitu yakin raja akan mengembalikan kaum muslimin ke Mekah. Di hadapan Raja Najashi yang beragama Nasrani, Amr Bin Ash mulai bersilat lidah. Amar membujuk raja bahwa agama Islam yang dianut oleh penduduk Mekah yang hijrah ke Habasyah berbeda dengan Nasrani, bahkan agama yang dibawa Muhammad ini dituduh memandang buruk terhadap agama Nasrani.
Raja Habasyah yang begitu kokoh imannya pada Nasrani sangat marah. Namun Ia tidak langsung mengusir kaum muslimin. Di sinilah kebenaran hadist Nabi tentang keadilan Raja Najashi terbukti. Raja Nasrani yang shaleh ini tidak mau bertindak sebelum mendengar langsung dari kaum Muslimin yang tinggal di negerinya.
Lalu Ja’far maju menjelaskan tentang Islam mewakili umat Islam dan mengapa Ia datang ke negeri Habasyah. Dengan tutur kata yang amat baik serta jujur apa adanya pernyataan Ja’far justru mengundang simpati raja.
Bahkan Ja’far menjelaskan tentang ajaran Islam, tentang Maryam dan Al Masih yang dituturkan Al-Qur’an. Mendengar itu Raja Najashi bergetar hatinya tidak kuasa menahan haru. Apa yang disampaikan Ja’far dan ajaran Nasrani yang Ia yakini berasal dari satu sumber yang sama. Maka saat itu pula, Najashi menjamin keamanan kaum Muslimin di Habasyah.
Menurut beberapa sumber, Raja Najashi memeluk Islam, namun tetap merahasiakannya kepada rakyatnya. Tidak hanya itu, murid-murid Ja’far di Habsyah kemudian menyebarkan ajaran tauhid disana hingga Islam mulai tersebar di negeri Habasyah.
Di negeri hijrah pertamanya itu, Asma, istri Ja’far melahirkan putra pertama mereka dan diberi nama Abdullah. Sebuah nama yang menujukan keislaman seseorang sebagai hamba yang hanya mengabdi kepada Allah. Kelahiran putra Ja’far disambut bahagia oleh Najashi. Raja memberinya hadiah, sang raja pun menamainya dengan nama yang serupa dengan putra Ja’far.
Ja'far di Medan Pertempuran Melawan Tentara Romawi
Selama tujuh tahun di negeri Habasyah, Ja’far dan kaum muslimin begitu merindukan Rasulullah. Sebuah kabar datang membuat hati Ja’far hancur, Abu Thalib, sang ayah yang amat dicintainya wafat dalam keadaan tidak beriman.
Di lain pihak, kaum muslimin mendapatkan kemenangan gemilang pada perang Haibar, Jafar Bin Abi Thalib meninggalkan Habasyah menuju Madinah. Kedatangannya begitu membahagiakan Rasulullah, hingga Nabi sendiri tidak menyadari kebahagiaan yang dirasakannya apakah karena kemenangannya dalam perang Haibar, atau karena kedatangan Ja’far.
Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah pada awal tahun 8 Hijriyah, Rasulullah menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Mut’ah. Rasulullah menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima.
Rasulullah bersabda, "Kalau Zaid terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Ja’far bin Abi Thalib. Jika ia terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Abdullah bin Rawahah. Dan jika Abdullah terbunuh, maka biarlah kaum muslimin memilih bagi mereka sendiri."
Kemudian Rasulullah memberikan bendera berwarna putih kepada Zaid bin Hartisah.
Berangkatlah pasukan ini. Ketika telah sampai di daerah Mu’tah sebuah kota dekat Syam daerah Yordania, mereka mendapati pasukan Romawi telah siap dengan jumlah sebanyak 200 ribu tentara yang terlatih. Diperkuat dengan 1000 milisi Nasrani dari kabilah-kabilah Arab. Jumlah sebegitu besar tidak pernah ditemui oleh kaum muslimin sebelumnya. Sementara tentara kaum muslimin yang dipimpin oleh Zait Bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara.
Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang ini bertemu dan pertempuran dahsyat pun terjadi. Panglima Muslimin, Zaid Bin Haritsah gugur dalam pertempuran sebagai syuhada, melihat Zaid jatuh tersungkur, Ja’far kemudian bergegas melompat dan mengambil alih bendera Rasulullah dari tangan Zaid.
Lalu diacungkan dengan tinggi-tinggi dan kini pimpinan beralih kepadanya. Ja’far menyusup ke dalam barisan musuh seraya mengayunkan pedang ditengah musuh yang mengepungnya. Dia menyerang musuh yang datang dari kanan dan kiri dengan sekuat tenaga sambil melantunkan syair:
"Wahai… alangkah dekatnya surga
Yang sangat lezat dan dingin minumannya
Romawi yang telah dekat kehancurannya
Wajib bagiku menghancurkannya
apabila menemuinya..."
Hingga suatu ketika sebuah tebasan pedang mengenai tangan kanannya, maka tangan kirinya langsung mengambil bendera dari tangan kanannya yang tertebas pedang, tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Tapi Ia tidak gentar dan putus asa, dipeluknya bendera Rasulullah dengan kedua lengannya dengan terus menerjang musuh hingga akhirnya tubuh Ja’far ditebas musuh hingga gugur sebagai syuhada di pertempuran Mut’ah itu.
Rasulullah sangat sedih mendengar kabar gugurnya Jafar, dan pergi ke rumah Ja’far di dapatinya Asma, istri Ja’far yang sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya, memandikan dan memakaikan baju bersih kepada anak-anaknya. Asma sendiri menuturkan kedatangan Rasulullah.
"Ketika Rasulullah mengujungi kami, terlihat wajah Rasulullah diselubungi kabut sedih, hatiku cemas tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk, beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami.”
Asma kemudian memanggil mereka semua, dan disuruhnya menemuii Rasulullah. Anak-anak Ja’far kemudian melompat kegirangan mengetahui kedatangan Beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman dengan Rasulullah. Rasulullah langsung memeluk erat anak-anak Ja’far sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata Rasulullah berlinang membasahi pipi mereka.
jumrahonline
Di riwayatkan dari Muhammad bin Usamah bin Zaib bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepada Ja’far, "Bentuk wajahmu serupa dengan wajahku, dan akhlakmu serupa dengan akhlakku karena kamu berasal dariku dan merupakan keturunanku."
Karena kemiripan akhlak dan karakternya inilah Ja’far bin Abi thalib mudah menerima Islam saat diterangkan dengan sahabat yakni Abu Bakar Ash Shiddiq. Ia tercatat menjadi orang ke-31 yang memeluk Islam.
Bagaimanakah perjalanan seorang Ja'far bin Abi Thalib dan apa sajakah pengaruh beliau dalam agama Islam?
Ja’far yang adalah sepupu Rasulullah ini langsung menyatakan keislamannya begitu mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah SWT. Putra Abu Thalib ini kemudian menyampaikan keislamannya kepada Asma bin Umais. Ja’far pun lalu mengajak istrinya untuk kemudian masuk Islam. Ia begitu yakin bahwa mengikuti ajaran Islam akan membawanya pada kebaikan dunia dan akhirat.
Kelembutan serta kecerdasan seorang Ja'far bin Abi Thalib berhasil mengantarkan istrinya Asma bin Umais ke jalan yang hidayah, hingga nanti disepanjang jalan hidupnya, keduanya bersama-sama mengarungi pahit manis sebagai seorang muslim yang bertakwa.
Meski kebahagiaan Islam telah menyelimuti hatinya, namun kebahagian kakak Ali Bin Abi Thalib ini belum utuh. Sebab sang ayah yang sangat dicintainya, Abu Thalib enggan mengikuti kebenaran yang dibawa keponakannya, Muhammad. Padahal Ia selalu dibarisan terdepan membela Rasulullah dari kedengkian kaum Quraisy. Hanya doalah yang bisa dipanjatkan Ja’far bin Abi Thalib agar ayah mau membuka hatinya menerima hidayah Islam.
Maka ketika Islam semakin menyebar di Kota Mekah kaum Quraisy semakin marah dan tidak terima. Mereka bersekongkol membuat banyak cara untuk menjatuhkan Islam serta melemahkan iman kaum Muslimin. Maka ketika Quraisy tidak bisa menghalangi dakwah Rasulullah lantaran mendapatkan pembelaan dari keluarga besarnya, mereka pun mulai melampiaskan amarah dengan menyiksa kaum miskin dan lemah.
Tapi siksaan demi siksaan yang diterima kaum muslimin justru membuat iman mereka semakin kokoh dan kebal. Demikia kejam siksaan kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin, hingga keinginan melawan semakin besar, termasuk Ja’far Bin Abi Thalib. Ia begitu kesal dengan perlakuan kaumnya tapi Ia begitu tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Rasulullah SAW melarang kaum Muslimin untuk melawan dan hanya meminta agar bersabar.
Ja'far Memimpin Hijrah ke Habasyah
Disaat kekejaman kaum Quraisy memuncak Rasulullah SAW meminta agar kaum muslimin hijrah ke negeri Habasyah, negeri yang dipimpin Raja Najashi, seorang Raja Nasrani yang adil dan tidak pernah berbuat dzalim.
Rasulullah memilih Ja'far Bin Abi Thalib memimpin kaum muslimin hijrah menyelamatkan akidahnya ke negeri Habasyah. Rasulullah SAW begitu mengenal Ja'far seperti mengenal dirinya sendiri. Ja'far diplih karena memiliki kecerdasan, keberanian sekaligus ketenangan semuanya itu semakin didukung karena Ia memiliki kemiripan dengan Rasulullah. Sehingga menjadi pelipur lara bagi kaum muslimin bila jauh dari nabi mereka.
Benar saja, di negeri Habasyah muslimin bisa hidup nyaman tanpa harus terganggu saat beribadah. Namun kabar hijrahnya 100 kaum muslimin ke negeri Habasyah membuat kaum musrik Quraisy makin tidak suka. Mereka tidak tenang, pengikut Rasulullah beribadah dengan nyaman disana. Mereka kemudian berencana untuk memulangkan kaum muslimin ke Mekkah. Mereka mengutus Amar Bin Ash, pemuda Quraisy yang dikenal paling piawai berdiplomasi dan dekat dengan Raja Najashi
Sambil membawa hadiah dari kaum Quraisy untuk dipersembahkan kepada Raja Habasyah, Amr Bin Ash begitu yakin raja akan mengembalikan kaum muslimin ke Mekah. Di hadapan Raja Najashi yang beragama Nasrani, Amr Bin Ash mulai bersilat lidah. Amar membujuk raja bahwa agama Islam yang dianut oleh penduduk Mekah yang hijrah ke Habasyah berbeda dengan Nasrani, bahkan agama yang dibawa Muhammad ini dituduh memandang buruk terhadap agama Nasrani.
Raja Habasyah yang begitu kokoh imannya pada Nasrani sangat marah. Namun Ia tidak langsung mengusir kaum muslimin. Di sinilah kebenaran hadist Nabi tentang keadilan Raja Najashi terbukti. Raja Nasrani yang shaleh ini tidak mau bertindak sebelum mendengar langsung dari kaum Muslimin yang tinggal di negerinya.
Lalu Ja’far maju menjelaskan tentang Islam mewakili umat Islam dan mengapa Ia datang ke negeri Habasyah. Dengan tutur kata yang amat baik serta jujur apa adanya pernyataan Ja’far justru mengundang simpati raja.
Bahkan Ja’far menjelaskan tentang ajaran Islam, tentang Maryam dan Al Masih yang dituturkan Al-Qur’an. Mendengar itu Raja Najashi bergetar hatinya tidak kuasa menahan haru. Apa yang disampaikan Ja’far dan ajaran Nasrani yang Ia yakini berasal dari satu sumber yang sama. Maka saat itu pula, Najashi menjamin keamanan kaum Muslimin di Habasyah.
Menurut beberapa sumber, Raja Najashi memeluk Islam, namun tetap merahasiakannya kepada rakyatnya. Tidak hanya itu, murid-murid Ja’far di Habsyah kemudian menyebarkan ajaran tauhid disana hingga Islam mulai tersebar di negeri Habasyah.
Di negeri hijrah pertamanya itu, Asma, istri Ja’far melahirkan putra pertama mereka dan diberi nama Abdullah. Sebuah nama yang menujukan keislaman seseorang sebagai hamba yang hanya mengabdi kepada Allah. Kelahiran putra Ja’far disambut bahagia oleh Najashi. Raja memberinya hadiah, sang raja pun menamainya dengan nama yang serupa dengan putra Ja’far.
Ja'far di Medan Pertempuran Melawan Tentara Romawi
Selama tujuh tahun di negeri Habasyah, Ja’far dan kaum muslimin begitu merindukan Rasulullah. Sebuah kabar datang membuat hati Ja’far hancur, Abu Thalib, sang ayah yang amat dicintainya wafat dalam keadaan tidak beriman.
Di lain pihak, kaum muslimin mendapatkan kemenangan gemilang pada perang Haibar, Jafar Bin Abi Thalib meninggalkan Habasyah menuju Madinah. Kedatangannya begitu membahagiakan Rasulullah, hingga Nabi sendiri tidak menyadari kebahagiaan yang dirasakannya apakah karena kemenangannya dalam perang Haibar, atau karena kedatangan Ja’far.
Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah pada awal tahun 8 Hijriyah, Rasulullah menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Mut’ah. Rasulullah menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima.
Rasulullah bersabda, "Kalau Zaid terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Ja’far bin Abi Thalib. Jika ia terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Abdullah bin Rawahah. Dan jika Abdullah terbunuh, maka biarlah kaum muslimin memilih bagi mereka sendiri."
Kemudian Rasulullah memberikan bendera berwarna putih kepada Zaid bin Hartisah.
Berangkatlah pasukan ini. Ketika telah sampai di daerah Mu’tah sebuah kota dekat Syam daerah Yordania, mereka mendapati pasukan Romawi telah siap dengan jumlah sebanyak 200 ribu tentara yang terlatih. Diperkuat dengan 1000 milisi Nasrani dari kabilah-kabilah Arab. Jumlah sebegitu besar tidak pernah ditemui oleh kaum muslimin sebelumnya. Sementara tentara kaum muslimin yang dipimpin oleh Zait Bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara.
Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang ini bertemu dan pertempuran dahsyat pun terjadi. Panglima Muslimin, Zaid Bin Haritsah gugur dalam pertempuran sebagai syuhada, melihat Zaid jatuh tersungkur, Ja’far kemudian bergegas melompat dan mengambil alih bendera Rasulullah dari tangan Zaid.
Lalu diacungkan dengan tinggi-tinggi dan kini pimpinan beralih kepadanya. Ja’far menyusup ke dalam barisan musuh seraya mengayunkan pedang ditengah musuh yang mengepungnya. Dia menyerang musuh yang datang dari kanan dan kiri dengan sekuat tenaga sambil melantunkan syair:
"Wahai… alangkah dekatnya surga
Yang sangat lezat dan dingin minumannya
Romawi yang telah dekat kehancurannya
Wajib bagiku menghancurkannya
apabila menemuinya..."
Hingga suatu ketika sebuah tebasan pedang mengenai tangan kanannya, maka tangan kirinya langsung mengambil bendera dari tangan kanannya yang tertebas pedang, tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Tapi Ia tidak gentar dan putus asa, dipeluknya bendera Rasulullah dengan kedua lengannya dengan terus menerjang musuh hingga akhirnya tubuh Ja’far ditebas musuh hingga gugur sebagai syuhada di pertempuran Mut’ah itu.
Rasulullah sangat sedih mendengar kabar gugurnya Jafar, dan pergi ke rumah Ja’far di dapatinya Asma, istri Ja’far yang sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya, memandikan dan memakaikan baju bersih kepada anak-anaknya. Asma sendiri menuturkan kedatangan Rasulullah.
"Ketika Rasulullah mengujungi kami, terlihat wajah Rasulullah diselubungi kabut sedih, hatiku cemas tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk, beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami.”
Asma kemudian memanggil mereka semua, dan disuruhnya menemuii Rasulullah. Anak-anak Ja’far kemudian melompat kegirangan mengetahui kedatangan Beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman dengan Rasulullah. Rasulullah langsung memeluk erat anak-anak Ja’far sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata Rasulullah berlinang membasahi pipi mereka.
jumrahonline