|  BERANDA  |  TAJUK TERKINI  |  JELAJAH  |  TSAQOFAH ISLAM  |  SIRAH NABAWIYAH  |  INSPIRASI  |  SAKINAH  |  MAUIDHATUL HASANAH  |  TAHUKAH?  |  JUMRAH.COM  |

Mendulang Pahala Dalam Cinta Yang Halal

Mendulang Pahala Dalam Cinta Yang Halal
Pernikahan Dalam Konteks Ibadah.
Budaya masyarakat modern saat ini berkembang semakin kompleks. Perubahan terjadi di setiap sendi kehidupan kita, tidak terkecuali terjadinya pergeseran nilai termasuk pendangkalan makna dari pernikahan. Bahkan pernikahan yang harusnya suci, kini seolah lepas dari tujuan sejatinya.


Kita melihat fenomena diekspos oleh media kaca, betapa mudahnya seseorang melakukan pernikahan, semudah ia melakukan perceraian, bahkan tak jarang berganti-ganti pasangan dengan melakukan nikah mut’ah dan polygami (dengan mengabaikan aturan syara’).

Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan bagian dari tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Dalam melaksanakan konsep kehidupan yang direncanakan dan ditentukan oleh Allah SWT itu, maka sebuah pernikahan diikat dalam suatu aqad (perjanjian) yang suci dan kuat, dengan aturan ketat. Dan mentaatinya, itu merupakan indikator ketaqwaan kepada Allah SWT.

Pernikahan di Masa Jahiliyah
Dari Urwah bin Zubair bahwa Aisyah isteri Rasul Allah SAW telah mengkabarkan kepadanya bahwa sesungguhnya pada masa Jahiliyah terdapat empat macam pernikahan.

Pertama, adalah pernikahan seperti yang dilakukan pada masa sekarang. Seorang laki-laki mendatangi wali wanita untuk melamar putrinya, kemudian memberinya mahar untuk menikahinya.

Kedua, pernikahan Istibdha, yaitu seorang suami berkata kepada isterinya pada saat suci dari haid (subur) "Temuilah si Fulan dan 'bergaullah' dengannya."

Sang suami menjauhinya sementara waktu (tidak menjimaknya) hingga benar-benar ia (isteri) positif hamil dari hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Ia melakukan hal itu, hanya untuk mendapatkan keturuan yang dianggap baik.

Ketiga, Nikahur-raht, sekelompok pria (kurang dari sepuluh) menggauli seorang wanita. Setelah wanita itu hamil dan melahirkan.

Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita itu pun memilih pria dari kelompok itu, dan tidak seorang pun yang boleh menolak.

Keempat, orang ramai berkumpul, lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang orang yang telah menggauli sang wanita. Para wanita itu adalah wanita pelacur.

Mereka meletakkan tanda pada pintu-pintu rumah mereka sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan bergaul dengan mereka.

Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu dipanggilkanlah orang yang ahli seluk-beluk nasab (Al Qafah), dan Al Qafah inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya sebagai bapanya, sehingga
anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang itu tidak boleh mengelak.

Maka ketika Rasulullah SAW datang membawa kebenaran, dihapuslah segala bentuk pernikahan jahiliyah, kecuali pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang hari ini. (Fath al Bary 9/192)

Menikah sebagai Ibadah kepada Allah
Menurut Syaikh Ali As Shabuni dalam Kitab AzZawaaj al Islami al Mubakkir, pernikahan dalam pandangan Islam adalah suatu ibadah dan qurbah (pendekatan diri).

Dengan pernikahan, seorang muslim/muslimah akan memperoleh imbalan dan pahala dari Allah Ta'ala, apabila pernikahan itu didasari dengan niat yang ikhlas. Pernikahan tersebut ditujukan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan dalam Islam, bukan karena dorongan nafsu hewani.

Tetapi semata-mata untuk mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Dari Abi Said mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: "Seorang suami ketika memandang istrinya lalu istrinya memandang (ada syahwat atau tidak)maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan rahmat (kasih sayang) Nya. 


Maka ketika suami memegang telapak tangan istrinya (sebagai upaya perangsangan saat berhubungan) maka dosa-dosa keduanya telah gugur melalui sela-sela jarijemari mereka berdua.(Faydh - al Qadir-hadist 1977-HR Maisarah, Rafi'i)

Dalam konteks penghambaan kepada Allah SWT, pernikahan juga berfungsi untuk menjaga masyarakat dari akhlak keji (zina, homoseksual,lesbian dsb) yang merusak nilai-nilai moral serta menjatuhkan martabat manusia.

Menikah merupakan jalan yang paling mulia dan paling afdhal dalam upaya menjaga kehormatan. Dengan menikah seseorang dapat menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya, sehingga tidak terjatuh dalam berbagai bentuk kemaksiatan dan perzinaan, dengan menikah seseorang dapat menjaga kehormatan dan akhlaknya, tidak mengikuti nafsu syahwatnya.

Maka Islam menghimbau kepada para pemuda untuk segera menikah, untuk menjaga mereka dari berbagai macam kerusakan moral. Dari Ibnu Mas'ud RA telah bersabda Rasulullah SAW : "Wahai para pemuda barang siapa diantara kalian yang sudah mampu maka segeralah menikah, karean hal ini dapat menundukan pandangan dan menjaga kemaluan, barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena hal ini dapat menjadi tameng baginya." (Muttafaqun 'alaihi)

Dengan pernikahan tersebut umat Muslim lebih termotivasi dan bersemangat dalam menegakkan rumah tangga yang Islami, ini menjadi salah satu tujuan pernikahan dalam Islam, yang semestinya setiap mu’min memperhatikannya. Maka Islam sedemikian rupa mengatur urusan pernikahan ini agar pasangan suami istri dapat bekerja sama dalam merealisasikan nilai-nilai Islam dalam rumah tangganya.


Pernikahan merupakan salah satu lahan yang subur bagi peribadahan dan amal sholeh disamping amal-amal ibadah yang lain, sampai seorang suami yang melampiaskan syahwatnya kepada istrinya disebut sebagai shadaqah.

Rasulullah SAW bersabda :
" …Seseorang diantara kalian yang bergaul dengan istrinya adalah sedekah!” Mendengar sabda Rasulullah SAW tersebut para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah seseorang dari kita yang melampiaskan syahwatnya terhadap istrinya akan mendapatkan pahala?” Rasulullah SAW menjawab : "Bagaimana menurut kalian jika seseorang bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah dia berdosa?, Begitu pula jika dia bersetubuh dengan istrinya maka dia akan mendapatkan pahala.”
(HR. Bukhori Muslim dalam Kitab Shahih, dari Abu Dzar)
 

Melalui pernikahan dengan ijin Allah SWT seseorang akan mendapatkan keturunan yang shaleh sehingga menjadi asset yang sangat berharga, karena anak yang sholeh senantiasa akan mendo'kan kedua orang tuanya ketika masih hidup atau sudah meninggal dunia, hal ini menjadi amal jariyah bagi kedua orang tuanya.

Dengan banyak anak juga akan memperkuat barisan kaum muslimin. Ketika mereka dididik dengan nilai-nilai Islam yang benar dan jihad fii Sabilillah, maka akan tumbuh generasi yang komitmen dengan agamanya
dan siap berkorban jiwa raga untuk tegaknya kalimat Allah ta'ala. Inilah antara lain hikmah

Rasulullah SAW menganjurkan umatnya agar menikahi wanita yang subur dan penyayang. "Nikahilah wanita yang subur dan penyayang! Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di hadapan para nabi pada hari kiamat.“(HR Ahmad dan Ibnu Hibban). 


(Jumrah Online, Erw)
 

Potret Cinta Terdalam pada Sang Khaliq (Kisah Sejarah Qurban)

Potret Cinta Terdalam pada Sang Khaliq
"Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih qurban"" (HR. Tirmidzi)

Menurut riwayat sejarah dalam ajaran Islam ibadah qurban pertama kali ada dan dilaksanakan adalah pada masa Nabi Adam As. Yang dilakukan oleh kedua putranya yakni Qabil dan Habil.

Keturunan Adam AS. yang lahir selalu kembar, diantaranya yakni Qabil dengan Iqlima dan Habil dengan Lubada. Maka Allah Ta'ala memerintahkan kepada nabi Adam As. untuk menikahkan anak-anaknya dengan cara bersilang. Yakni Qabil akan dinikahkan dengan saudari kembar Habil (Lubada), begitupun sebaliknya.

Namun karena Qabil menolak perintah tersebut, dengan alasan dia bersikukuh ingin dinikahkan dengan saudari kembarnya sendiri yakini Iqlima yang lebih cantik dari Lubada. Maka sesuai peritah Allah Ta'ala, Adam memerintahkan mereka berdua untuk melakukan upacara qurban. Dengan ketentuan bahwa qurban yang diterima maka dialah berhak akan dinikahkan dengan Iqlima.

Dengan hati yang terpaksa Qabil menyerahkan hasil kebunnya berupa buah-buahan dan sayur mayur. Sedangkan Habil dengan hati yang ikhlas dan penuh kepasrahan menyerahkan hasil ternaknya seekor domba.

Alhasil, Allah Ta'ala lebih memilih qurban yang merupakan harta Habil yang paling berharga dan diserahkan dengan penuh hati yang ikhlas. Sementara qurban Qabil yang diserahkan dengan hati terpaksa membuat qurbannya tidak bernilai di mata Allah Ta'ala. Habil lebih memahami tujuan dari ritual kurban tersebut adalah untuk memperoleh ridho Allah dengan dan kepasrahan kita sebagai hamba kepada sang khaliq Allah 'Azza wa Jalla.

Begitu juga pengurbanan Ibrahim AS, Ia harus menyerahkan putra satu-satunya yang mengisi hidupnya, menjadi inspirasi dan kekuatannya dalam berdakwah dalam menyampaikan ajaran yang hanif, untuk menunaikan perintah Allah Ta'ala.

Bagaimana mungkin Ibrahim AS akan mengurbankan buah hatinya, Ismail, dengan cara yang paling menyedihkan?  Namun keteguhan hati Ibrahim, membuat pertanyaan itu menjadi tidak berarti. Hanya kecintaan, kepasrahan dan ketaqwaan Ibrahim kepada Allah 'Azza wa Jalla. Ia begitu yakin akan melaksanakan perintah tersebut.

Habil putra Adam AS dan Ibrahim AS memiliki kisah yang sama atas pengorbanan yang ekstrim sebagai peringatan seluruh umat muslim dalam mewujudkan serta mendapatkan cinta dari  Allah Ta'ala.


Di sini jelas bahwa ritual Qurban atau korban adalah wujud kedekatan yang sangat dekat, seorang makhluk kepada Khaliq-nya, sekaligus pembuktian dari ikrarnya: "Qul inna shalaati wa nusukii wamahyaaya mamaati lillahi Rabbil 'aalamiin" (sungguh shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku adalah milik Allah, Tuhan seluruh alam).

Qurban adalah cara Allah Ta'ala menguji kita untuk menjawab bahwa apa dan siapa dan sebenarnya yang menjadi orientasi atau tujuan hidup manusia. Apakah harta yang paling berharga atau kecintaan kepada Allah Ta' ala, dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi yang dilarang-Nya?

Qurban dan Persaudaraan Umat Muslim

Berat sekali ujian keimanan pada kehidupan seperti sekarang ini, pragmatisme menjadi fenomena sehari-hari. Merosotnya nilai-nilai Islam dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kalau dalam masyarakat, suara dan jeritan kaum fakir miskin dan rakyat jelata tampaknya semakin hari semakin terbaikan.

Mata hati kita mulai kabur dan hanya mampu melihat kehidupan yang gemerlap dengan kemewahan. Bahkan logika kita pun sudah tak sanggup memilah yang benar di antara yang salah. Segala sesuatu yang kita perbuat hanya untuk kepentingan kita sendiri dan kepedulian kita terhadap sesama pun sudah makin pudar.


Di perayaan Idul Adha saat ini, hendaknya menjadikan kita kembali kepada syariat untuk pensucian jiwa, membersihkan kotoran yang ada pada hati kita, sifat-sifat ananiyah atau individualistis dibersihkan melalui ibadah haji dan menyembelih kurban. Pesan tersirat dari dalam akhir kisah Ibrahim adalah ajaran Islam yang begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.

Kepedulian sosial kita kepada sesama umat manusia melalui penyebarluasan daging kurban, hendaknya bukan hanya sekadar ritual semata, tetapi terealisasi dalam silahturahmi, hubungan persaudaraan sejati yang kita jalin antar sesama muslim. Rasa solidaritas sosial yang menjembatani kesenjangan sosial, apalagi dalam situasi yang tidak menguntungkan.

Dengan Qurban pun Allah Ta'ala mengajarkan kepada kita apakah kita memiliki kepedulian hanya untuk diri sendiri atau berbagi sesama makhluk ciptaan-Nya. Bukan hanya turut merasakan penderitaan mereka yang tertimpa ketidak beruntungan, tidak juga hanya berbagi sepotong daging qurban. Tetapi lebih dari itu, memberi kesempatan untuk meraih apa yang menjadi harapan mereka di masa mendatang.

jumrahonline

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...