Imam Masjid Istiqlal, Ali Mustofa Yakub menyatakan bahwa pergi haji bukanlah lahan untuk menyombongkan diri. Karenanya permasalahan haji di Indonesia harus diselesaikan dengan pembuatan aturan khusus untuk mengatasi penumpukan jemaah haji di daftar tunggu. Selain itu, agar orang Indonesia tidak lagi pergi haji untuk kedua kali dan seterusnya.
“Menteri agama tidak melayani orang berhaji ulang, gitu aja. Termasuk umroh. Saya khawatir, bila perlu ada aturan yang batasi orang gak bolak balik pergi haji. Orang beranggapan semakin sering naik haji maka semakin hebat. Ini yang perlu dikoreksi,” ungkapnya di Senayan, Selasa (11/08).
Akan halnya, kolaborasi apik antara pemerintah dan ulama haruslah bisa bertindak dalam mengatasinya. Ia menyayangkan, sebagain orang yang katanya ulama malah sibuk mencari customer dengan menjadi agen biro travel haji.
“Pemerintah dan ulama yang harusnya bertindak. Sayang sekali sebagian ulama malah jadi agen biro travel haji. Tidak memberi contoh seperti Rasulullah SAW,” keluhnya.
Menyinggung soal Dana Abadi Umat, ia pun berharap muncul terobosan baru agar dana itu alokasinya jelas terarah bermanfaat bagi umat, tidak mubadzir.
“Ini uang siapa? Ini milik jemaah atau milik negara?
Diketahui, banyak pihak yang mengatakan Undang-Undang nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji mengandung kelemahan-kelemahan yang cukup serius dalam ketentuan, tata kelola, efisiensi dan pelayananan kepada jamaah haji dan umrah.
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, UU tentang Penyelenggaraan Haji juga perlu dilakukan harmonisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, sekelompok masyarakat yang salah satunya diinisiasi oleh Anggito Abimanyu dan akademisi dari universitas Islam menyusun Naskah Akademik dan RUU Perubahan UU 13 Tahun 2008 tersebut.
jumrahonline
Shalat Idul Fitri dalam Ilmu Fiqh
Shalat Id adalah ibadah shalat yang sunah muakkad dua rakaaat yang dilakukukan pada hari raya Idul Fitri (1 Syawal) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dinamakan hari Id karena berasal dari kata kembali. Juga berarti kembali berbuka puasa atau kembali makan pagi di mana sebelumnya dilarang makan sesuatu.
Dalam kaitan dengan Idul Adha dapat berarti: menyempurnakan haji dengan thawaf ziarah (ifadhah), daging kurban serta lainnya.
Makna Id, secara bahasa berarti Aud, yakni kembali. Maksudnya, kembali mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan pada setiap tahun.
Id-ul fithr terdiri atas dua kata, yaitu Id yang artinya hari raya, dari asal kata, ayada yg artinya kembali.
Dikatakan id karena pada hari itu Allah SWT mengembalikan kegembiraan dan rasa sukacita kepada hambaNya. Atau kembalinya kebaikan-kebaikan dari Allah SWT kepada hambanya, pada hari itu seorang hamba kembali dalam keaadaan suci karena telah bertobat kepada Allah SWT dan telah meminta maaf kepada sesamanya.
Kata kedua fithr, artinya fitrah, kesucian dan kebersihan jiwa. Sebab, pada hari itu seorang hamba merayakan kebersihan dari noda dosa setelah beribadah dan bertobat secara sungguh-sungguh selama sebulan penuh. Allah SWT berfirman: Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS al- Baqarah [2]: 185)
Shalat Id dalam Al-Qur′an
Allah SWT berfirman dalam surat al-A′la [87]:(14-15) ″Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersih- kan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhan- nya, lalu dia shalat.″
Qatadah dan Atha′ mengatakan yang dimaksud dengan membersihkan diri dengan ayat ini adalah mengeluarkan zakat fitrah. Abu Said al- Khudri berkata: yang dimaksud dengan ″ ingat nama Tuhan- nya″ adalah dengan mengumandangkan takbir pada hari Idul Fitri dan shalatlah maksudnya shalat Id.″
Waktu Pelaksanaan dan Jumlah Rakaat
Fuqaha sepakat bahwa waktu shalat Id adalah setelah mata hari terbit kira-kira satu atau dua tumbak (sekitar setengah jam setelah terbit matahari) sampai sebelum masuk waktu Zuhur (ketika waktu duha) dan makruh pada saat terbit matahari (menurut jumhur ulama).
Menurut mazhab Hanafi, apabila orang melaksanakan shalat Id sebelum matahari naik satu tombak, maka shalat Id batal bahkan berubah menjadi shalat sunah yang diharamkan.
Mazhab Syafi′i: Waktu shalat Id tersebut adalah sejak naiknya matahari sampai tergelincirnya matahari (waktu zawal).
Sedangkan menurut mazhab Hambali: waktunya adalah sejak naiknya matahari setombak (sampai waktu zawal/matahari mulai condong ke arah barat).
Hukum Shalat Idul Fitri
Keterangan mutawatir (orang banyak) menerangkan secara pasti bahwa Rasulullah SAW biasa melak- sanakan shalat kedua hari raya. Shalat hari raya yang pertama kali dilakukannya adalah shalat Idul Fitri pada tahun 2 (dua) Hijriyah.
′An Malik Annahu Sami′a Ghaira Wahidin Min Ulama′ihim Yaqulu Lam Yakun Fi Id al-Fitri Wala Fi ala-Adha Nidaun Wala Iqamah. Dari Malik telah mendengarkan dari para ulama bahwa melakukan shalat tersebut tanpa pakai adzan dan iqamat.
Ulama (jumhur/mayoritas)sepakat atas diperintahkannya kedua shalat hari raya tersebut. (sebagaimana dalam kitab al Muwaththa′- Imam Malik)
Hukum Shalat Idul Fitri dan Idul Adha, wajib atau sunah?
Mazhab Hanafi mengatakan kedua shalat Id itu hukumnya fardu ′ain dengan syarat-syarat yang ada pada shalat Jumat. Kalau syarat-syarat tersebut atau sebagaian dari padanya tidak terpenuhi, maka menurut mahzab tersebut kewajiban tersebut menjadi gugur.
Mazhab Hanbali mengatakan: Hukumnya Fardu kifayah. Mazhab Syafi′i dan Maliki mengatakan: hukumnya adalah sunah ′ain muakkadah (dengan peringkat setelah muakkadnya shalat witir).
Hukum Wanita Pergi Shalat Id
Fuqaha Mazhab Hanafi dan mazhab maliki sepakat bahwa para gadis tidak diperkenankan pergi shalat Jumat dan shalat dua hari raya berdasarkan firman Allah SWT :
″Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.″ (QS al-Ahzab [33]:33)
Menurut mazhab Syafi′i dan Hambali, boleh wanita mendirikan tempat shalat Id. Maka sebaiknya wanita yang menghadirinya tidak memakai wewangian, pakaian yang glamour.
Berdasarkan hadis dari Ummu Athiyah bahwa ia mendengarkan Nabi SAW bersabda:
″Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid… tetapi wanita yang sedang haid menjauhi tempat shalat.″ (Sahih Bukhari)
Syarat Wajib dan Bolehnya Shalat Id
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa apa aja yang menjadi syarat wajib dan bolehnya Jumat adalah berlaku pula untuk shalat dua hari raya, seperti adanya imam, jama′ah, kota/tempat, serta waktu kecuali khotbahnya yang hukumnya sunah setelah selesai shalat, bahkan jika tidak ada khotbahpun, shalat Id tetap boleh.
Hadirnya imam, yakni penguasa atau hakim atau wakilnya merupakan syarat terlaksananya shalat Id sebagaimana pada shalat Jumat berdasarkan keterangan sunah/hadis. Sebab jika penguasa tidak hadir, akan timbul fitnah akibat banyaknya masyarakat yang tidak jarang berebut dalam mengajukan seorang imam sebagai kedudukan terhormat.
Persyaratan shalat Id harus di suatu kota didasarkan kepada pendapat Ali (mauquf) bahwa ″tiada jumat, tasyriq, shalat idul Fitri dan shalat Idul Adha kecuali bila dalam suatu kota yang menghimpun masyarakat atau di kota besar.″
Mengenai keharusan adanya jamaah, adalah terdiri atas lelaki, baligh, berakal, merdeka, sehat badan dan muqim, merupakan syarat wajibnya shalat Id, sebagaimana yang berlaku dalam shalat Jumat.
Shalat Id tidak berlaku bagi orang lupa, anak-anak, gila, hamba sahaya kalau tidak diizinkan tuannya, berpenyakit merana, sakit biasa dan musafir di mana mereka semua juga tidak wajib shalat Jumat.
Sedangkan mazhab Hanbali mensyaratkan bahwa sahnya shalat Id harus dihadiri oleh 40 orang jamaah Jumat yang tempat tinggalnya dan disana tidak perlu izin bahkan boleh dilakukan oleh musafir, wanita serta munfarid demi mengikuti orang yang wajib melaksanakannya.
Mazhab Syafi′i menyatakan: ″shalat pada kedua hari raya itu sah dikerjakan, baik sendiri maupun berjama′ah. Sedangkan mazhab-mazhab lainnya mewajibkan berjamaah dalam shalat Id."
jumrahonline
Dinamakan hari Id karena berasal dari kata kembali. Juga berarti kembali berbuka puasa atau kembali makan pagi di mana sebelumnya dilarang makan sesuatu.
Dalam kaitan dengan Idul Adha dapat berarti: menyempurnakan haji dengan thawaf ziarah (ifadhah), daging kurban serta lainnya.
Makna Id, secara bahasa berarti Aud, yakni kembali. Maksudnya, kembali mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan pada setiap tahun.
Id-ul fithr terdiri atas dua kata, yaitu Id yang artinya hari raya, dari asal kata, ayada yg artinya kembali.
Dikatakan id karena pada hari itu Allah SWT mengembalikan kegembiraan dan rasa sukacita kepada hambaNya. Atau kembalinya kebaikan-kebaikan dari Allah SWT kepada hambanya, pada hari itu seorang hamba kembali dalam keaadaan suci karena telah bertobat kepada Allah SWT dan telah meminta maaf kepada sesamanya.
Kata kedua fithr, artinya fitrah, kesucian dan kebersihan jiwa. Sebab, pada hari itu seorang hamba merayakan kebersihan dari noda dosa setelah beribadah dan bertobat secara sungguh-sungguh selama sebulan penuh. Allah SWT berfirman: Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS al- Baqarah [2]: 185)
Shalat Id dalam Al-Qur′an
Allah SWT berfirman dalam surat al-A′la [87]:(14-15) ″Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersih- kan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhan- nya, lalu dia shalat.″
Qatadah dan Atha′ mengatakan yang dimaksud dengan membersihkan diri dengan ayat ini adalah mengeluarkan zakat fitrah. Abu Said al- Khudri berkata: yang dimaksud dengan ″ ingat nama Tuhan- nya″ adalah dengan mengumandangkan takbir pada hari Idul Fitri dan shalatlah maksudnya shalat Id.″
Waktu Pelaksanaan dan Jumlah Rakaat
Fuqaha sepakat bahwa waktu shalat Id adalah setelah mata hari terbit kira-kira satu atau dua tumbak (sekitar setengah jam setelah terbit matahari) sampai sebelum masuk waktu Zuhur (ketika waktu duha) dan makruh pada saat terbit matahari (menurut jumhur ulama).
Menurut mazhab Hanafi, apabila orang melaksanakan shalat Id sebelum matahari naik satu tombak, maka shalat Id batal bahkan berubah menjadi shalat sunah yang diharamkan.
Mazhab Syafi′i: Waktu shalat Id tersebut adalah sejak naiknya matahari sampai tergelincirnya matahari (waktu zawal).
Sedangkan menurut mazhab Hambali: waktunya adalah sejak naiknya matahari setombak (sampai waktu zawal/matahari mulai condong ke arah barat).
Hukum Shalat Idul Fitri
Keterangan mutawatir (orang banyak) menerangkan secara pasti bahwa Rasulullah SAW biasa melak- sanakan shalat kedua hari raya. Shalat hari raya yang pertama kali dilakukannya adalah shalat Idul Fitri pada tahun 2 (dua) Hijriyah.
′An Malik Annahu Sami′a Ghaira Wahidin Min Ulama′ihim Yaqulu Lam Yakun Fi Id al-Fitri Wala Fi ala-Adha Nidaun Wala Iqamah. Dari Malik telah mendengarkan dari para ulama bahwa melakukan shalat tersebut tanpa pakai adzan dan iqamat.
Ulama (jumhur/mayoritas)sepakat atas diperintahkannya kedua shalat hari raya tersebut. (sebagaimana dalam kitab al Muwaththa′- Imam Malik)
Hukum Shalat Idul Fitri dan Idul Adha, wajib atau sunah?
Mazhab Hanafi mengatakan kedua shalat Id itu hukumnya fardu ′ain dengan syarat-syarat yang ada pada shalat Jumat. Kalau syarat-syarat tersebut atau sebagaian dari padanya tidak terpenuhi, maka menurut mahzab tersebut kewajiban tersebut menjadi gugur.
Mazhab Hanbali mengatakan: Hukumnya Fardu kifayah. Mazhab Syafi′i dan Maliki mengatakan: hukumnya adalah sunah ′ain muakkadah (dengan peringkat setelah muakkadnya shalat witir).
Hukum Wanita Pergi Shalat Id
Fuqaha Mazhab Hanafi dan mazhab maliki sepakat bahwa para gadis tidak diperkenankan pergi shalat Jumat dan shalat dua hari raya berdasarkan firman Allah SWT :
″Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.″ (QS al-Ahzab [33]:33)
Menurut mazhab Syafi′i dan Hambali, boleh wanita mendirikan tempat shalat Id. Maka sebaiknya wanita yang menghadirinya tidak memakai wewangian, pakaian yang glamour.
Berdasarkan hadis dari Ummu Athiyah bahwa ia mendengarkan Nabi SAW bersabda:
″Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid… tetapi wanita yang sedang haid menjauhi tempat shalat.″ (Sahih Bukhari)
Syarat Wajib dan Bolehnya Shalat Id
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa apa aja yang menjadi syarat wajib dan bolehnya Jumat adalah berlaku pula untuk shalat dua hari raya, seperti adanya imam, jama′ah, kota/tempat, serta waktu kecuali khotbahnya yang hukumnya sunah setelah selesai shalat, bahkan jika tidak ada khotbahpun, shalat Id tetap boleh.
Hadirnya imam, yakni penguasa atau hakim atau wakilnya merupakan syarat terlaksananya shalat Id sebagaimana pada shalat Jumat berdasarkan keterangan sunah/hadis. Sebab jika penguasa tidak hadir, akan timbul fitnah akibat banyaknya masyarakat yang tidak jarang berebut dalam mengajukan seorang imam sebagai kedudukan terhormat.
Persyaratan shalat Id harus di suatu kota didasarkan kepada pendapat Ali (mauquf) bahwa ″tiada jumat, tasyriq, shalat idul Fitri dan shalat Idul Adha kecuali bila dalam suatu kota yang menghimpun masyarakat atau di kota besar.″
Mengenai keharusan adanya jamaah, adalah terdiri atas lelaki, baligh, berakal, merdeka, sehat badan dan muqim, merupakan syarat wajibnya shalat Id, sebagaimana yang berlaku dalam shalat Jumat.
Shalat Id tidak berlaku bagi orang lupa, anak-anak, gila, hamba sahaya kalau tidak diizinkan tuannya, berpenyakit merana, sakit biasa dan musafir di mana mereka semua juga tidak wajib shalat Jumat.
Sedangkan mazhab Hanbali mensyaratkan bahwa sahnya shalat Id harus dihadiri oleh 40 orang jamaah Jumat yang tempat tinggalnya dan disana tidak perlu izin bahkan boleh dilakukan oleh musafir, wanita serta munfarid demi mengikuti orang yang wajib melaksanakannya.
Mazhab Syafi′i menyatakan: ″shalat pada kedua hari raya itu sah dikerjakan, baik sendiri maupun berjama′ah. Sedangkan mazhab-mazhab lainnya mewajibkan berjamaah dalam shalat Id."
jumrahonline